[5] Denial

304 46 4
                                    

Di umurnya yang sudah menginjak kepala dua, tentu saja Anugerah bisa berpikir dengan nalar. Anugerah juga masih ingat kalau dulu Maudy pernah ingin membawanya pergi dari Mahesa. Sampai sekarang Anugerah percaya kalau itu terjadi karena Anugerah nakal, jadi Mahesa marah dan ingin memberikan Anugerah ke orang lain. Kalau dipikir lagi sekarang, Anugerah tetap ingin mempercayai hal tersebut. Ia akan tetap berpikir bahwa saat itu Mahesa dan Maudy tidak sungguh-sungguh. Sebab saat sudah dewasa pun tetap sulit untuk menerima bahwa Mahesa bukan ayah kandungnya.

Supir taksi online yang ditumpangi Anugerah sampai bingung karena Anugerah menangis sesenggukan sepanjang jalan. Lelaki itu bahkan mengabaikan teman kantornya yang terlihat khawatir setelah Anugerah kembali dari ruangan Harith. Anugerah harus meminta maaf pada mereka nanti. Sekarang ia akan menghabiskan air matanya terlebih dahulu sambil memikirkan alasan apa yang harus ia berikan pada Alin. Pasti sang bunda akan bertanya mengapa Anugerah pulang lebih awal. Dengan mata sembab pula.

Anugerah mengucap salam seperti biasa. Suaranya serak karena habis menangis. Lalu tak lama setelah itu disambut oleh Alin dari lantai dua.

"Kenapa, Bang? Kamu habis nangis?" tanya Alin khawatir. Kemudian menarik Anugerah supaya duduk dulu di sofa dan menenangkan diri. Dari sorot mata yang Alin tangkap, Anugerah seperti habis melewati sesuatu yang berat. "Bilang sama Bunda, Bang. Ada apa? Ada masalah di kantor?"

Anugerah menggeleng. Ia menunduk dan buru-buru menutup wajahnya. Disusul suara sesenggukan. "Abang capek ...."

"Capek kenapa? Ada yang jahatin Abang?"

"Capek, Bun."

"Iya, nggak apa-apa. Namanya kerja memang capek, Bang. Bunda ngerti pasti Abang butuh adaptasi sama kerjaan Abang." Alin mengelus lembut puncak kepala Anugerah yang menangis sesenggukan. Percaya begitu saja bahwa Anugerah menangis karena beban pekerjaan.

"Dengerin Bunda, ya, Bang. Abang ngerasain capek itu wajar karena Abang manusia. Tapi jangan sampai rasa capek Abang bikin Abang jadi nggak bisa maksimal. Kalau capek istirahat sebentar, Bang. Diistirahatkan dulu raga dan jiwanya yang capek. Lari-lari di bawah terik matahari pasti capek, kan? Nggak pa-pa. Sejauh ini Abang hebat. Abang boleh nangis, boleh capek, tapi nggak boleh nyerah dan berhenti. Capeknya Abang itu cuma perasaan sementara. Hari ini mungkin capek, tapi bukan berarti selamanya bakal capek terus, kan, Bang?"

"Udah, udah. Jangan nangis terus sayangnya Bunda. Nanti Bunda buatin es doger kesukaan Abang, deh. Gimana?" Masih mengelus-elus puncak kepala Anugerah penuh sayang, sebelah tangan Alin menyodorkan kotak tisu pada Anugerah. Membiarkan lelaki itu mengelap sisa air matanya yang jatuh.

Anugerah menatap Alin lekat. "Kenapa Bunda nggak marah? Harusnya Bunda marah karena Abang malah nangis, padahal Abang udah gede."

"Kenapa harus marah? Nggak ada larangan bagi orang dewasa buat nangis, kok, Bang. Nangis itu salah satu bentuk dari pelampiasan emosi. Kalau ditahan malah nggak enak. Iya, kan?"

Rasanya Anugerah malah ingin menangis lagi. Ia paham mengapa banyak orang yang iri dengan keluarga Anugerah. Memiliki ibu sebaik Alin adalah karunia yang tak terkira. Anugerah sangat beruntung karena bisa merasakan kasih sayang Alin. Kehidupan Anugerah kelihatannya sangat sempurna dengan kasih sayang penuh dari Alin dan Mahesa. Anugerah sendiri merasa demikian, ia merasa hidupnya tak kurang suatu apapun berkat keluarganya.

Namun, itu juga dapat menjadi bumerang bagi Anugerah. Contohnya seperti sekarang ini. Anugerah dihadapkan dengan kemungkinan bahwa Mahesa dan Alin benar-benar bukan orang tua kandungnya. Maka Anugerah akan menolak keras percaya, sekalipun memang begitu realita yang ada. Anugerah tidak rela. Bagaimana bisa ia rela kalau mereka sangat baik padanya?

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Oct 04, 2023 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Melodi Tak BeriramaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora