Prolog

21 2 0
                                    

Penampakan langit senja bersama pantulan cahayanya yang mulai meredup menuju gelap, sungguh sama sekali tidak menjadi suatu penghalang bagiku untuk enggan memasuki sebuah area pemakaman umum.

Selain karena merupakan seseorang yang selalu pantang ketakutan terhadap mistis, di hari ini aku memang sudah tekad berencana pergi menemui ayahku yang sudah sekitar satu minggu terbaring dengan tenang di dalam salah satu makam.

Pasca sekitar satu minggu lamanya ia meninggalkan dunia ini untuk selamanya, rasa rinduku padanya ternyata malah telah kian membesar.

Aku yakin Ayah akan menyukai kiriman dari Arin ini, batinku sembari terus melangkahkan kaki dengan hati-hati menuju makamnya, yang dengan sesekali pula atensiku melirik kedua tangan yang tengah menggenggam beberapa tangkai bunga Lily putih sebagai simbol suatu kiriman harum untuknya selain seuntai doa.

Lantas ketika akhirnya tiba di makamnya, dengan pelan aku menurunkan tubuh seraya tersenyum getir.

Melihat di sekitar makamnya berserakan beberapa daun kering yang berjatuhan dengan raut sendu, aku bersigap membersihkannya terlebih dahulu sebelum kemudian segera meletakkan beberapa tangkai bunga Lily putih di dekat batu berbentuk persegi empat miliknya yang bertuliskan nama 'Rian Artama' beserta tanggal lahir sekaligus tanggal meninggal dibawahnya.

"Bahagia selalu untuk Ayah di sana, ya," lirihku, menatap lamat makamnya, hingga tak terasa setetes air mata jatuh membasahi wajah.

Bersamaan dengan itu, pikiranku rupanya juga malah kembali teringat dengan surat wasiatnya yang sampai saat ini bagiku terasa sangat janggal serta sangat meragukan. Bahkan rasanya sangat ingin pula aku mempertanyakan mengenai hal itu padanya secara langsung.

Nahasnya, apa ia akan mampu menjawab dalam keadaannya yang jelas-jelas tidak memungkinkan untuk menjawab? Lalu apa aku pantas bertanya mengenai hal itu, jika sebuah wasiat sudah tentu wajib dikabulkan serta tidak perlu ditanyakan lagi perihal kebenarannya?

Alhasil aku menelan saliva dengan kesulitan. Menghela napas panjang seraya mengedarkan pandangan ke sekitar.

Hening dan sepi.

Jelas, sedari awal aku memasuki area pemakaman, memang tidak ada siapa pun selain diri sendiri dan dua orang penjaga makam yang sedang berjaga di pintu utama.

Aku pun beralih melirik sekilas jam tangan untuk melihat posisi jarum jam sedang berada tepat pada angka mana, yang ternyata beberapa menit lagi senja akan benar-benar berakhir. Aku pikir, aku harus segera pulang agar tidak sampai pulang kemalaman. Terlebih jika dalam keadaan aku yang masih memakai pakaian sekolah, itu pasti akan membuat ibuku menegur.

Namun bertepatan dengan aku yang hendak bangkit berdiri untuk segera pulang, tetiba saja aku malah merasakan ada beberapa hal yang membuat aliran darah dalam tubuhku terasa berdesir.

Di mana ...

Suara burung-burung pingai yang terbang di atas puncak kepala tetiba terdengar perlahan-lahan memudar, pohon-pohon beringin besar yang mengelilingi pemakaman tetiba tampak gemetar, semilir angin yang menerpa tetiba terasa menghilang dan pergi begitu saja, serta tetiba aku hanya mendengar ada suara bisikan seorang pria dengan suara berat nan tegas ke dalam indra pendengaran yang menyampaikan serangkai kalimat berbunyi 'ruang nyawa dalam kutukan' secara berulang kali.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 13, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

𝐑𝐮𝐚𝐧𝐠 𝐍𝐲𝐚𝐰𝐚 𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐊𝐮𝐭𝐮𝐤𝐚𝐧Where stories live. Discover now