Kisah Soni

5 1 0
                                    

Semua bermula sejak insiden live streaming itu. Sejak saat itu aku sama sekali tidak berani pergi ke sekolah dan juga tidak berani keluar rumah. Entah bagaimana seluruh sekolah dan juga area sekitar rumahku telah tahu tentang kejadian itu, dan itu membuatku mengurung diri di kamar setiap hari.

Ibukulah yang harus menahan malu menghadapi semua bisikan dan ledekan tetangga. Seluruh cibiran itu membuat telinga dan hatinya panas, dan dia pun melampiaskan kekesalan hatinya padaku. Seluruh percakapan kami telah berubah menjadi teriakan dan sesekali ibu akan memukulku jika aku melawan maupun menangis.

Aku tahu aku sudah melakukan hal yang begitu bodoh, tetapi apa aku memang layak diperlakukan seperti itu? Aku tidak tahu, aku nyaris percaya bahwa aku memang pantas diperlakukan seperti itu, tetapi ayahku memberikan jawaban yang benar.

Hanya ayah yang mendukungku sejak saat itu. Beliau akan marah jika ibu memukulku dan beliau jugalah yang selalu memberiku semangat untuk tidak terus berlinang dalam kesedihan. Ayah terus memperhatikanku setiap harinya, tetapi ibu tidak menyukai sikap itu. Mereka berdua jadi sering bertengkar, dan semua itu karena aku.

Perlahan-lahan aku menjadi sangat bergantung pada ayah dan mungkin itu jugalah yang menyebabkan ibu semakin emosian. Setiap kali ayah pergi bekerja ibu pasti menyuruhku melakukan banyak pekerjaan berat dan meneriakiku jika melakukan kesalahan. Siksaan fisik, siksaan mental, aku melewati hari demi hari dengan semua itu. Aku melakukan semuanya dengan patuh, berharap suatu hari ibu akan memaafkanku, tetapi hari itu ternyata tidak pernah datang. Jangankan maaf, hubungan kami terus saja memburuk sampai-sampai aku menyerah untuk mencoba.

Dan seperti yang sudah kuprediksi, ayah dan ibu akhirnya bertengkar amat hebat. Mereka saling melontarkan kutukan dan kata-kata kebencian lain hingga pada akhirnya keputusan itu pun diambil. Keduanya bercerai, aku pun meninggalkan rumah bersama ayah. Aku tidak merasa sedih, sejujurnya aku merasa lega. Aku merasa akhirnya bisa memulai hidup baru yang tenang.

Ayah pun menyewa kamar sebelah untuk kami berdua. Di sana kehidupan kami berlangsung seperti biasa, damai dan menyenangkan. Ayah bekerja keras membiayai kehidupan kami dan aku juga mencoba sebaik mungkin melakukan pekerjaan rumah. Awalnya aku mengira semua akan berjalan lancar, tetapi nasibku sudah terbukti benar-benar buruk.

Ada beberapa hal yang berubah dari ayah. Sejak bercerai dengan ibu, ayah tampaknya ingin benar-benar dekat denganku. Tentunya aku gembira, tetapi kedekatan itu bukan sekedar kasih sayang, ayah mulai menunjukkan sifat intim terhadapku. Terkadang aku bisa melihat tatapan matanya seolah mencoba menembus pakaianku, sesekali aku bahkan memergokinya menyentuh pakaian dalamku. Awalnya aku terkejut dengan semua pendekatan itu, tetapi kata-kata ayah yang halus, penghiburan yang terus dia berikan padaku, membuat kegelisahan itu lenyap begitu saja.

Saat itu aku memang benar-benar bodoh, aku tak lagi mengerti mana yang benar dan salah. Bagiku, ayah adalah segalanya, satu-satunya yang selalu ada untukku. Aku ingin berguna untuknya, menemaninya kapan pun ayah membutuhkanku. Ayah memberiku kasih sayang, dan itu semua yang aku punya. Aku sudah tak punya siapa pun lagi, hanya ayah seorang diri. Aku tak boleh kehilangan ayah.

Hingga suatu hari, ayah pulang dengan wajah yang begitu lesu. Dia memelukku, dan menangis tanpa suara. Aku bertanya mengapa dan ayah memberitahu bahwa dia telah dipecat dari pekerjaannya. Aku melihat ayah yang begitu terguncang, dan perasaan itu menular kepadaku. Tanpa sadar apa yang aku lakukan, aku balas memeluk ayah, menenangkannya, dan meyakinkannya bahwa aku akan selalu ada di sisinya.

Mungkin karena akhirnya mendapat respon balik dariku, ayah melepas akal sehat terakhirnya. Di situlah aku benar-benar merasa takut, mencoba untuk melawan, tetapi ayah memberiku satu pelajaran, satu hal pasti yang akhirnya terus kupegang sampai sekarang.

Memeluk JiwamuWhere stories live. Discover now