Chapter 3

16 1 0
                                    

Elea baru saja memasuki mobil sedan berwarna kelabu itu dengan terburu - buru entahlah udara Kota Bandung hari ini sangat panas. Ya benar sekali Elea kembali ke Indonesia tepat satu bulan semenjak ia menjejaki kota Paris, selain karena memang ia masih kuliah di indonesia ini juga merupakan salah satu titah dari sang kakak untuk mencari tahu tentang Rara.

Elea sebenarnya cukup bingung dengan keadaan ini, ia sangat sayang pada Rara orang yang dicintai kakaknya tapi di lain sisi perjodohan sang kakak dengan anak kolega kakeknya juga akan segera dilaksanakan tepat bulan depan sebelum Adrian kembali ke Indonesia.

Tak ingin banyak berpikir ia memilih untuk tidur sebelum ia melaksanakan tugas dari sang kakak.

Sampai di rumah ia membersihkan diri lalu turun untuk makan malam. Untuk hari ini ia rasa cukup ia kembali ke kamarnya merebahkan diri di atas kasur king size miliknya, lega sekali rasanya sesekali ia berguling guling di atas kasur empuknya. Sampai tak terasa ia terlelap dengan sendirinya.

...

Sedangkan di tempat Adrian tengah uring – uringan karena rencana perjodohan yang direncanakan kakeknya. Ia tidak habis pikir mengapa sang kakek melakukan semua ini. Orang tua itu menjadikannya sebagai bahan investasi.

Adrian duduk terpekur di sofa yang tersedia di apartmentnya, ia sangat bingung saat ini entah apa yang dilakukannya. Kenapa harus dia? Padahal banyak sepupunya yang lain lantas mengapa harus dirinya. Jika pun disuruh untuk memilih ia pun belum siap untuk berkomitmen dengan siapapun, kecuali Rara. Janji itu kalimat yang ia ucapkan pada gadisnya sebelum ia pergi meninggalkannya. Apa kabarnya sekarang, ia bisa saja menghubungi gadis itu tapi rasa bersalahnya yang begitu besar menahan langkahnya untuk melakukan itu.

Emosinya benar –benar memuncak, ia meraih vas bunga yang berada tepat di depannya lalu menghempaskannya ke lantai.

"Praaang," suara benda pecah tersebut mengejutkan seorang pria yang baru saja masuk ke dalam apartmen Adrian, ia begitu syok melihat bos sekaligus sepupunya itu dalam keadaan tidak baik –baik saja. Wajahnya suram tak bermaya, bajunya acak – acakan selaras dengan kondisi apartmentnya pada saat itu.

Jangan lupakan tangannya yang sudah berbalut cairan merah kental berbau amis.

Farhan segera berlari menghampiri sepupunya itu. Dengan panik ia segera menyeret tubuh saudaranya itu untuk duduk kembali di sofa. Ia membersihkan terlebih dahulu luka dari tangan pria berusia 25 tahun itu. Ia tak berkata sepatah apapun dan membiarkan seseorang di sampingnya ini tenang terlebih dahulu.

Ia kemudian berjalan ke arah dapur untuk mengambil air minum untuk dirinya dan juga Adrian, pikirannya masih melayang setelah melihat keadaan saudaranya itu, ia juga sangat bingung dengan apa yang terjadi saat ini. Menghembuskan napas berat lantas kembali mengayunkan langkahnya menuju ruang depan, tempat lokasi Adrian saat ini.

"Minum dulu biar kamu tenang," ucap Farhan menyodorkan gelas dalam genggamannya yang langsung di raih oleh laki – laki itu.

Adrian menenggak air tersebut hingga tandas, ia sangat letih saat ini rasanya seperti atma yang bersemayam telah menguap jauh. Bingung, gelisah, lelah entahlah semua ini sangat membuatnya sangat sulit, untuk bernapas sekalipun. Ia kembali mengingat adegan siang tadi.

Flashback on

Suara ketukan pintu menyita perhatiannya ia menegakkan punggungnya dan memandang ke arah pintu.

"Masuk," ucapnya

Tak lama kemudian Farhan masuk kedalam ruangan itu dengan raut wajah tidak biasa.

"Adrian Kakek manggil," ucap Farhan hati – hati. Hampir sama dengan sepupu sekaligus asistennya itu Adrian juga terkejut dengan hal itu.

"Duh tidak usah bertanya dulu, saya hanya di perintahkan untuk memanggilmu saya tidak di beri tahu apa – apa juga," ungkapnya.

Di Ujung Penantian (End) Where stories live. Discover now