Chapter 32

11.8K 398 39
                                    

Written by: __Akasa

Akasa tidak pernah gagal. Tulisannya selalu membuat ku kagum.

.
.
.

Wajah tenangnya memberikan kesan ia dapat mengendalikan situasi. Ia mengemudi dengan satu tangan. Sementara tangan kirinya tak henti-hentinya mencoba menghubungi kekasihnya.

"Selama aku bisa tiba tepat waktu, semuanya akan baik-baik saja."

"Livi..." Pelan ia menyebut namanya. Dalam gelimang kekhawatiran dan waktu yang terus berputar. Mengabaikan mereka yang tertatih-tatih menggapainya.

"Masih satu jam lagi sampai tiba di sana. Kenapa kau tak kunjung mengangkat teleponku, sayang..." Monolognya di sela-sela perjalanannya.

Masuk sebuah panggilan dari Edrick yang menyatakan ia tidak dapat menemukan mobil Civic putih dengan nopol yang Alsen berikan.

"Baik, baik, tidak, tidak perlu Edrick. Siagakan saja penjagaan di sana. Barangkali terjadi sesuatu yang tidak diinginkan." Ucap Alsen sebelum menutup teleponnya. Terdengar tenang memang, tapi tidak dengan hatinya yang terus-menerus menantikan balasan Livia.

⚖️⚖️

Bogor, 23.15 WIB

Drrt...drrrt...

Beberapa kali smartphone Livia bergetar di dashboard, Caca hanya menatapnya. Ia fokus pada kendali mobilnya. Sementara di sampingnya Livia sedang tertidur pulas.

"Duuhhh, siapa sih? Mana Livi masih tidur lagi." Gerutunya. Namun Caca tetap tidak menyentuhnya.

"Sebentar lagi sampai tujuan, sabar ya Tuan penelepon!" Caca kesal. Sobat akrab Livia itu memang gadis yang ketika menyetir mobil masih kaku. Ia harus terus fokus pada kendalinya. Ia sama sekali tidak berani mengalihkan perhatian.

"Emmhh ..." Livia menggeliat. Meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Perlahan matanya terbuka.

"Emh, Ca, sudah sampai, kah?" Tanya Livia tanpa dosa membiarkan sahabatnya terjaga seorang diri.

"Ihh, ngebo Mulu lu kerjanya!" Caca sewot.

"Ngantuk, Ca." Balas Livia enteng.

"Tuh ada missed call! Kalau dihitung-hitung ada selusin kali!" Caca menginfokan pada Livia. Barangkali telepon itu benar-benar penting.

"Hah?!" Livia buru-buru mengambil smartphonenya.

"Alsen?" Ia kaget melihat dua puluh panggilan tak terjawab.

Livia segera menghubungi balik.

"H-Halo, Alsen?" Livia khawatir kena amukan Alsen.

"Di mana kamu?! Sudah sampai tujuan?" Alsen terdengar terburu-buru dari seberang telepon.

"I-ini hampir sampai sayang." Jawabnya lembut.

"Livi.. dengar, aku tidak mau merusak acaramu yang staycation, liburan atau apalah itu..." Alsen mengambil nafas, suaranya terdengar seksi dari balik telepon. Nadanya yang hampir selalu serak-serak basah membuat Livia terbius untuk menyimaknya.

"Iya, kenapa sayang?" Livia menanti.

"Di sana...(noise)...kabarnya...(noise)... Mut(il)asi..." Sambungan keduanya terganggu oleh sinyal yang tidak stabil.

"Hah?! Siapa yang mutasi ke Bogor?!" Livia heran.

(Noise) (noise) (noise).

"Halo, halo Sayang!" Livia terputus sambungan dengan Alsen. Apapun itu, mendadak firasat Livia berubah menjadi tidak enak. Ada kabut khawatir yang tiba-tiba menyelimuti batinnya.

𝑷𝒐𝒔𝒔𝒆𝒔𝒔𝒊𝒗𝒆 𝑳𝒂𝒘𝒚𝒆𝒓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang