Dua Puluh Empat

4 0 0
                                    

"Lo kalo sakit ke UKS aja Yuna."

Aku menggeleng, tetap pada posisi nenyendarkan kepala di meja. Alya dan Sania terus menyuruhku pergi ke UKS tapi aku enggan melakukannya.

Ini adalah hari kedua dimana aku memaksakan diri untuk sekolah, padahal jelas-jelas aku sedang sakit. Alya dan Sania menyadari ada yang aneh pada diriku, sehingga keduanya mendesak aku untuk berkata jujur.

Selama dua hari ini juga aku terus menghindar Raihan. Pulang lebih dulu atau mengendap-endap agar tidak sampai bertemu. Raihan terus menanyakan tempat saat waktu pulang dan aku selalu menjawab sudah sampai rumah atau semacamnya.

"Bu, Yuna sakit!!!!" pekik Dika di tengah keheningan.

Aku menatap tajam kearahnya. Alya dan Sania saja berbicara padaku sambil berbisik tapi Dika dengan gamblangnya justru memberitahu guru dengan suara keras. Semua murid di kelas spontan mengarahkan atensinya ke arahku setelah Dika berteriak.

"Yuna kamu sakit? Kenapa gak bilang?" guru di depan menghampiriku.

"Cuma lemes doang kok bu."

"Panas gini badan kamu, sekarang kamu istirahat aja di uks dan jangan lupa minta obat penurun panas."

Aku mengangguk pasrah. Dika, Alya, dan Sania terkikik melihatku pasrah seperti ini. Sepanjang jalan aku terus menunduk, rasa pusing di kepalaku sangat menyakitkan. Beruntung orang-orang masih berada di kelasnya masing-masing.

"Permisi, apa ada orang?" tanyaku.

"Masuk aja, saya lagi ngecek obat-obatan di belakang sini!!"

Aku menduduki diri di bangsal yang ada di UKS. Hanya beberapa detik sampai penjaga UKS keluar dari tempat penyimpanan obat. Sebenarnya bukan ruangan yang di gunakan untuk menaruh obat, hanya saja obat memang di taruh di sudut ruangan dekat bangsal paling ujung sehingga terkesan ada ruangan lagi.

"Bu, boleh saya minta obat pereda panas," ujarku.

"Boleh, tunggu sebentar ya. Kamu tiduran dulu aja."

Aku mengangguk, "Ini obatnya, setelah ini kamu istirahat dulu di sini sampai panasnya turun. Oh, iya jangan lupa di minun teh angetnya. Saya harus keluar sebentar, mau beli obat-obatan yang udah abis. Nanti kalo ada yang nanyain saya, jawab aja saya lagi keluar bentar."

Aku mengangguk faham. Belum sampai satu menit penjaga UKS pergi, seseorang kembali membuka pintu UKS, tepat di saat aku ingin membaringkan tubuh.

Tunggu, aku harus meralat ucapanku tadi. Bukan seseorang, tapi beberapa orang. Aku membeku ketika salah satu dari mereka menatapku, bahkan bisa di bilang tatapan kami bertemu.

"Lo penjaga UKS kan. Tolong obatin temen gue ya. Kita harus balik lagi ke lapangan." Setelah berucap, orang-orang itu pergi, meninggalkan aku dengan orang itu.

Aku segera bangkit dari duduk, berjalan menuju Raihan yang masih berdiri di depan pintu. Melihat wajah dan tangannya terluka spontan membuatku khawatir. Aku memapah cowok itu agar duduk di tempat aku tadi. Tanpa banyak bicara aku langsung memberi obat merah pada luka-luka yang ada di Raihan, tentunya setelah aku membersihkan darahnya.

Raihan memilih diam tanpa membuka suaranya, begitu pula aku. Kami sama-sama diam, membiarkan keheningan menghampiri.

"Selesai," Aku langsung merapihkan semua yang tadi ku gunakan. Namun kegiatanku terhenti saat Raihan mengeluarkan suaranya.

"Lo sakit?" tanya Raihan.

"Sedikit, tapi udah mendingan."

Raihan mengangguk pelan, "Kenapa akhir-akhir terus ngehindar?"

my teenage yearsWhere stories live. Discover now