Chapter 10 : Regarding Aftermath

22 10 21
                                    

POV3 : Narrator

Lingkungan gedung jurusan sastra dikelilingi oleh taman terbuka. Taman dengan hamparan rumput hijau yang halus itu, menjadi tempat paling disukai oleh para mahasiswa sebagai tempat berkumpul. Nyaris setiap hari, suasananya selalu ramai. Penuh ingar-bingar candaan dan celotehan para manusia sosialis. Kecuali jika malam tiba, maka tak ada kata 'sepi' di tempat itu.

Bagi manusia yang menutup diri seperti Lian, keramaian adalah tempat yang paling ia hindari. Namun jika memang ia berada dalam kondisi yang mengharuskannya untuk berada di sana, maka ia akan mendengarkan daftar putar di ponselnya melalui pelantang telinga. Setidaknya musik lebih menyenangkan didengar, daripada celotehan orang yang tak berkepentingan.

Sebaliknya, ada pula manusia lain yang bahkan tak perlu repot-repot untuk menghindari keramaian. Sebab sebising apapun lingkungan disekitarnya, masih ada kesepian yang menggenang di hatinya. Sehingga seperti kebiasaan, tanpa sadar mereka terus mencoba berada di tengah keramaian. Mengira hatinya akan lebih nyaman, agar kemudian ia bisa terbebas rasa kesepian itu.

Misalnya Radit, yang senang menghabiskan waktunya ditengah keramaian. Ia senang bercengkrama dan mengenal semua orang. Pria itu selalu bersikap ramah dan asertif. Hingga di mata orang lain, dia adalah pribadi yang menyenangkan.

Berbincang, bercanda, hingga tertawa. Kegiatan semacam itu, sudah menjadi kesehariannya. Karena entah sejak kapan, 'sepi' sudah menjadi musuh terbesar pria itu.

Meski tak mengatakan apa-apa sekalipun, jika berada di tengah keramaian, maka perasaan hampa yang hanya ia rasakan saat sendirian, akan seolah terisi setidaknya sedikit saja.

Tak perlu bertindak banyak, ia hanya perlu diam dan tersenyum, maka orang-orang tak akan segan berada di dekatnya. Mungkin karena itulah, Radit dan senyumanya sudah seperti sahabat sejati, menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Seperti saat ini. Pada salah satu meja di bawah pohon rindang taman kampus. Ketika teman-teman di sekelilingnya sedang seru membicarakan hal ini dan itu. Radit hanya diam memperhatikan bersama senyumnya, sembari menopang dagu. Lantas dengan santai menanggapi celotehan mereka diiringi tawa cerah.

Walau sebenarnya dibalik senyum ceria dan perilaku menyenangkan yang disukai orang lain itu, terdapat endapan kesepian yang selalu mengganggu benaknya. 

"Hei, kau sudah mempertimbangkan tawaranku saat itu?" tiba-tiba seseorang menepuk pundak Radit. Pria tersebut datang entah dari mana, dan suaranya yang nyaring memotong pembicaraan sekelompok mahasiswa di meja itu.

"bagaimana, Dit?" ulangnya, begitu Radit menoleh.

Pria itu adalah Romi, salah satu senior Radit di jurusan sastra. Ia tak disukai banyak orang karena perilakunya yang pemalas dan menyebalkan. Namun orang itu salah paham berpikir bahwa ia dekat dengan Radit, dikarenakan pribadinya yang memang ramah ke semua orang.

Romi sudah lama membujuk Radit agar ia mau bergabung dalam program siaran langsung miliknya untuk menaikan rating. Meski ditolak secara halus berkali-kali, ia terus-terusan saja mengejar seperti sedang menagih utang.

"A-ah, yang waktu itu, ya?" Radit melirik teman-temannya dengan canggung. Sebab sebelumnya, Romi selalu membahas hal itu jika sedang tak banyak orang.

"Astaga, apakah kepalamu baru saja terbentur? Sepertinya kau mendengar dengan jelas aku menolaknya," jawab Radit diselingi tawa kecil.

Grin Like A Cheshire [Hiatus]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt