Chapter 25

1.4K 98 0
                                    

Pagi sekali Reza dan Naisha pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Keduanya harus mengambil nomor antrian sebelum dipanggil ke ruangan dokter.

Selama menunggu, keduanya membeku. Tidak ada yang berinisiatif untuk memulai percakapan, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Lo mau gue beliin sesuatu?" tanya Reza setelah sekian lama berada dalam keheningan.

"Naisha nitip minuman yang seger boleh?"

"Lo suka minuman seger yang gimana apa?"

"Apa aja, yang penting seger." Reza mengangguk mengerti, kemudian berdiri dan berjalan meninggalkan ruang tunggu.

Disana, Naisha menunggu dengan hati yang cemas. Ia mengusap perutnya sesekali, lalu menghempas napasnya dengan perlahan.

Ia tidak tahu harus merasakan apa. Senang karena ia akan menjadi seorang ibu, atau sedih karena ia akan segera memiliki anak yang bukan darah daging suaminya.

Naisha menundukkan kepalanya dalam, berkali-kali ia mengusap air mata, menghilangkannya kemudian segera menguatkan diri. Berbicara dalam hati bahwa bagaimana pun kejadiannya. Anak yang ia kandung tidak bersalah, bahwa anak yang ia kandung tetaplah anugerah meski dalam keadaan yang salah.

Lima menit setelah kepergian Reza membeli minuman. Naisha dipanggil oleh seorang perawat dari ruang dokter di depannya. Naisha segera berdiri dan mengikuti arahan sang perawat untuj masuk.

Di ruangan tersebut, ia disambut hangat oleh seorang dokter wanita. Naisha mengatakan semua yang ia rasakan terkait

"Itu reaksi alami yang dirasakan oleh ibu hamil ditrisemester awal. Jadi bu Naisha tidak perlu khawatir, saya akan memberikan vitamin untuk ibu."

Naisha menautkan jemarinya abstrak dan gerakan itu terhenti saat suara ketukan pintu terdengar. Naisha kira Reza yang masuk setelah tidak melihat ia di ruang tunggu lagi. Namun pemandangan yang ia lihat sekarang membuat dunianya seolah berhenti, menguak kembali luka-luka yang telah mengering.

"Sayang, papa–" Kalimat pria yang baru saja masuk ke ruangan itu terhenti saat melihat Naisha.

Dada Naisha langsung terasa nyeri. Sosok pria yang sudah lama tidak ia temui namun tak pernah ia lupakan sama sekali.

"Pa, sebentar. Thania masih ada satu pasien lagi." Air mata Naisha semakin tak bisa terbendung lagi.

Ia tidak pernah menyangka akan dipertemukan dengan papanya seperti itu. Apalagi mengetahui bahwa dokternya itu memanggil Ridwan dengan sebutan papa.

Raut wajah Ridwan langsung berubah saat melihat Naisha. Ia menundukkan kepala untuk menyembunyikan keterkejutannya.

"Kalau gitu, papa tunggu diluar." Thania mengangguk dengan senyuman hangat yang melepas kepergian Ridwan dari ruangannya.

"Obatnya diminum tiga kali sehari setelah makan ya," ucap Thania segera membuyarkan lamunan Naisha.

Setelah mendapatkan resep, wanita itu keluar ruangan dengan hati yang tidak lagi karuan. Pikirannya ramai dipenuhi oleh ingatan tentang Ridwan.

Tepat di depan pintu, Ridwan berdiri mematung. Menatap Naisha dengan mata berkaca. Tak ingin air matanya jatuh di hadapan Ridwan, Naisha segera melangkah membelakangi papanya itu. Ia ingin sekali memeluk Ridwan karena kerinduan yang selama ini ia pendam, namun disisi lain rasa sakitnya semakin menyiksa saat melihat wajah dan berada di jarak yang sangat dekat dengan Ridwan.

"Naisha..." panggil Ridwan.

Naisha menghentikan langkahnya, tapi ia tak sanggup berbalik, "kamu apakabar?"

Air mata Naisha berderaian tak lagi sanggup ia tahan agar tidak jatuh. Ia merindukan suara itu, namun sangat membenci sosoknya. Sudah sekian lama mereka tidak bertemu dan kata yang ia dengar adalah apakabar?

"Pa, ayo. Thania udah lapar." Suara lain membuat Naisha semakin tertikam. Mereka bahkan sudah lama tidak berada di meja yang sama untuk makan bersama. Ada rasa iri yang tiba-tiba menjalari hatinya, tubuhnya lemas ingin ambruk namun sekuat tenaga ia tahan.

Naisha tak melihat, tapi ia bisa merasakan kedua orang dibelakangnya menjauh.

"Jadikan, kita makan di restoran yang papa bilang kemarin?" tanya Thania dengan suara yang semakin mengecil.

Bersamaan dengan itu Naisha menyeret paksa kakinya untuk beranjak dari sana. Namun ia tidak sanggup, ia terduduk lemas di kursi besi yang sangat dingin.

"Maaf, gue lama. Tadi bingung mau beliin lo apa." Reza datang membawa jinjingan berisi minuman.

Melihat Naisha yang menangis, Reza mempercepat langkahnya. Duduk menatap Naisha yang masih enggan menunjukkan wajahnya.

"Lo kenapa, Nai? Apa ada yang sakit, hm?" tanya Reza khawatir.

Segera Naisha tak bisa lagi membendung tangisnya. Melihat Naisha yang menangis membuat Reza semakin penasaran, namun ia menahan diri untuk tidak bertanya hingga Naisha tenang. Sepertinya tebakannya salah tentang sakit yang dirasakan Naisha.

"Ak-u kete-mu Papa-"

Reza diam, yang ia tahu Naisha tidak memiliki ayah karena saat pernikahan wali yang menikahkannya adalah paman dari mamanya-Vina.

Naisha menangis tersedu, beberapa saat Reza memperhatikan wanita itu semakin kencang. Tak tega, ia menggeser tubuhnya mendekati Naisha.

"Nai, bahu gue kuat kok buat nahan kepala lo."

Saat itu juga, Reza mendapatkan serangan mendadak. Tubuhnya membeku saat kedua tangan Naisha mengerat. Dengan ragu, Reza mengangkat tangannya. Mengusap kepalanya dengan lembut.

"Lo boleh nangis sepuasnya, tapi jangan sendiri, gue akan selalu ada buat lo, Sha. Mulai sekarang bahu gue siap buat jadi sandaran lo kapanpun."

•••

Mata Naisha membengkak setelah selesai menumpahkan segala perasaannya dengan tangisan. Reza menyodorkan tisu pada Naisha yang sudah duduk di mobil dengan tatapan yag setengah kosong.

"Gue rasa hidung lo tersumbat. Jadi gue beliin minyak angin juga," ucap Reza ditanggapi anggukan pelan dari Naisha.

Detik selanjutnya, Reza memasang seatbeltnya. Ia melirik Naisha dari kaca spion depan, hatinya dipenuhi oleh kekhawatiran yang membuatnya tak ingin melepaskan pandangan pada wanita itu.

"Kak, ayo kita pulang. Naisha ngantuk." Setelah mendapatkan lampu hijau dari Naisha untuk melanjutkan perjalanan pulang, Reza pun mulai menancap gas. Hampir sepuluh detik sekali mata Reza beralih ke spion untuk melihat kondisi Naisha.

Laju mobilnya ia pelankan saat melihat kedua mata Naisha tertutup rapat, ia tak ingin mengusiknya ketenangan Naisha dalam tidurnya. Jika bisa, Reza rasanya ingin menganggam tangan Naisha sepanjang perjalanan namun itu tidak mungkin karena posisi mereka yang tidak dekat.

Naisha masih tertidur saat keempat mobil Reza terparkir di depan rumah. Dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara yang bisa membnagunkan Naisha, Reza keluar mobil dan pindah ke kursi belakang.

Disana ia duduk di sebelah Naisha, memandangi wajah lelah wanita itu. Senyumnya terbersit saat mendapati bahwa hatinya berdebar sangat kencang saat netranya menatap lekat Naisha. Hingga Naisha sadar, senyum Reza semakin mengembang hangat.

"Kak Reza, kita udah sampai?" Rezamengangguk pelan, "kenapa gak bangunin aku?"

"Ini baru mau gue bangunin," ujar Reza padahal sedaritadi ia tak berniat membangunkan Naisha sama sekali, ia ingin melihat wajah istrinya itu lebih lama.

"Ayo turun, sebaiknya lo pindah ke kamar." Naisha menuruti apa yang dikatakan Reza, ia turun setelah berusaha mengumpulkan nyawanya dari tidur. Di belakang Reza berjalan pelan mengawasi langkah Naisha.

-TBC-

Halo prens. Sorry baru update, jadwal padat banget. Ini juga harus curi² waktu 😭

See you..

Cianjur, 14.09.23
Regina Putri

RezatamaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora