03.Perasaan Alzean

9.8K 360 3
                                    

“Tak ada yang mencintaimu di dunia ini selain dirimu sendiri. Semua akan meninggalkanmu kecuali dirimu sendiri.”

- Alana Zealinne Artharendra

•••

Alana segera memakai Hoodie berwarna putih kesayangannya saat merasakan angin berhembus begitu kencang. Matahari tak nampak dengan awan gelap terus menyelimuti langit. Alana sedikit merasa takut saat mendengar suara petir menggelegar menusuk gendang telinganya.

Alona, Steysie dan Celline sudah pulang sedari tadi tanpa memberitahu Alana terlebih dahulu. Alana juga sudah beberapa kali menghubungi Keano, Zevandra, dan Rassya, namun tak ada yang menggubris.

Alana kembali menghubungi Rassya. Senyum tipis terbit. Akhirnya Rassya mengangkat teleponnya.

“Kenapa?!” tanya Rassya ketus.

“B--boleh anterin gue balik, gak? Soalnya udah mau hujan dan gak ada bus sama sekali disini,” jawab Alana.

“Gue lagi rapat dan gue sibuk! Lo gak usah manja, deh, Lan! Kalau gak ada bus ya jalan kaki! Ribet banget, sih! Atau gak suruh Zevandra atau Keano anterin Lo! Gue bener-bener sibuk!” Rassya langsung memutuskan panggilan secara sepihak.

Alana menghembuskan nafasnya kasar. Tubuhnya ia sandarkan pada tiang dengan tangan terlipat didepan dada. Gadis itu merasa sedikit menggigil saat angin kembali berhembus menusuk kulitnya.

Gadis berambut sebahu itu mulai mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Buku novel yang baru ia beli satu Minggu yang lalu dan belum ia baca sama sekali. Hari ini, Alana sedikit tertarik membaca Novel itu.

Bibir Alana tertarik membentuk senyuman tipis saat membaca lembaran pertama Novel tersebut. Novel dengan tokoh utama yang begitu disayangi oleh semua orang. Sahabat, teman, orang tua, keluarga, kekasih, dan saudaranya sendiri. Benar-benar berbanding terbalik dengan kehidupan Alana.

Alana meringis saat membaca beberapa adegan romantis dari novel tersebut.

“Andai gue yang ada di novel ini,” gumamnya dengan senyuman yang perlahan mulai luntur.

Tiba-tiba suara motor terdengar di telinga Alana. Gadis itu segera menoleh dan mendapati seseorang dengan motor sport berwarna merah berjalan mendekat kearahnya.

Dengan melihat penampilannya saja Alana sudah tau itu siapa. Alana begitu menyukainya hingga hafal pada apapun yang melekat pada diri lelaki itu. Walaupun sudah lama tak bertemu, namun perasaan Alana tak pudar begitu saja.

Lelaki itu membuka helm fullfacenya. “Naik!” titahnya to the point.

Alana menggeleng. “Gak usah. Gue masih bisa nunggu bus disini, kok,” balasnya sambil tersenyum tipis.

“Gak usah sok jual mahal! Gue tau Lo udah capek nunggu daritadi!”

“Gue gak perlu bantuan lo.” Lagi-lagi Alana menolak dengan senyuman.

“Cepet naik!” kekeh Alzean.

“Lo kenapa maksa banget?” tanya Alana sambil menatap wajah Alzean intens.

Alzean memutar kedua bola matanya malas. “Gak usah kepedean gue bakal suka sama Lo. Gue bantu Lo cuma mau balas Budi karena dulu Lo sering bantuin gue, dan ...”

Kalimat itu berhasil membuat dada Alana sesak. Gadis itu sudah berharap seseorang akan datang dan mengubah kehidupannya. Tapi itu salah! Orang yang ia anggap sebagai penolongnya bahkan tak menginginkannya sama sekali. Alzean, lelaki itu sama sekali tak memiliki perasaan pada Alana. Dan Alana tak berhak mengharapkannya.

“Dan karena Lo kembaran Alona. Gue suka sama dia dan perasaan gue cuma buat dia,” sambungnya.

Lagi-lagi hati Alana kembali terasa nyeri. Semua orang telah berhasil menyakitinya. Dari sekian banyaknya manusia di bumi, tak ada satupun yang ingin menyembuhkan lukanya.

“Masih kek dulu, ya ....” Alana mendongak. Menatap Alzean dalam. “Bedanya sekarang Lo hargain bantuan gue, dan dulu Lo cuma sia-siain bantuan gue.”

“Perasaan Lo masih buat Alona. Sama sekali gak ada yang bisa usik Alona dari hati Lo. Bahkan orang terbaik sekalipun.” Alana menyambung kalimatnya sambil tersenyum getir.

Harusnya Alana tak berharap. Harusnya Alana selalu belajar untuk tak pernah mengharapkan siapapun dan untuk apapun. Harusnya Alana sadar jika dirinya bukanlah Alona yang disayangi dan dicintai semua orang. Dan Alana harus sadar bahwa Cinta hanya akan menyakiti dirinya sendiri.

Alana meremas roknya.

“Gue juga pengen kek Alona,” gumamnya. Terdengar sangat pilu.

Alzean menatap Alana bingung. Ada rasa kasihan di hatinya saat melihat Alana yang menyedihkan seperti itu. Hatinya seakan ingin menolong, namun, raganya menolak. Alzean tak tau perasaan apa yang ada pada dirinya saat bersama Alana. Saat gadis itu senang, Alzean juga ikut merasa senang. Namun, saat Alana sedih, hati Alzean terasa teriris seakan ikut merasakan pilu yang dirasakan Alana.

Dari SD, Alzean memang sudah menyimpan perasaan pada Alona. Namun, gadis itu selalu menolak kehadirannya. Berbeda dengan Alona, Alana malah selalu mencoba mendekati Alzean dan selalu membantu lelaki itu dikala susah. Bahkan Alana rela terbully hanya demi membela Alzean.

Namun, hati tak bisa berbohong. Alzean masih mencintai Alona hingga saat ini. Pria itu menganggap bahwa Alona adalah cinta pertama dan terakhirnya. Tak ada yang bisa menggantikan posisi gadis itu dihatinya.

Alzean segera menarik lengan Alana hingga gadis itu sejajar dengannya. Matanya terus menatap wajah manis Alana dengan tangan sibuk memakaikan gadis itu helm. Menyuruh Alana dengan mulut saja tak akan berhasil jika tangan tak ikut bertindak.

Alana tertegun saat melihat wajah tampan Alzean begitu dekat dengannya. Hembusan nafas lelaki itu terasa hangat di wajahnya dengan tangan lembut yang begitu telaten memakaikannya helm.

“Udah! Sekarang naik dan gak usah ngelawan!” titah Alzean.

Alana menghembuskan nafasnya lelah dan mulai menaiki motor Alzean. Aroma tubuh lelaki itu tercium sempurna hingga membuat bibir pucat Alana membentuk senyuman. Aroma tubuh yang sama sekali tak berubah sedari dulu. Aroma manis namun tetap cocok untuk seorang Alzean.

“Pegangan!” Alzean kembali memerintah dengan suara ketus.

“G--gak perlu. Gue bisa,” tolak Alana.

Alzean memutar kedua bola matanya malas dan langsung menarik kedua tangan Alana hingga memeluk pinggangnya. Kaca helmnya mulai ia turunkan dengan tatapan lurus kedepan.

“Pegangan yang kuat!” titah Alzean.

Alana hanya mengangguk pasrah. Gadis itu tau Alzean akan mengendarai motornya dengan sangat laju. Jika saja Alana bisa memilih, lebih baik dirinya menunggu Bus tadi daripada harus terjebak dengan Alzean seperti ini.

Perlahan Alana mulai memeluk pinggang Alzean. Gadis itu langsung menutup matanya saat suara petir kembali terdengar.

Alzean melirik Alana. Tanpa disadari senyum tipis terbit di bibirnya saat merasakan pelukan Alana yang terasa begitu nyaman. Apalagi dengan wajah ketakutan gadis itu yang menurutnya terlihat lucu.

Alzean segera menggeleng dan menepis pikirannya. Tak mau berlama-lama, Alzean segera menancap gas dan mengendarai motornya menuju kerumah Alana.

 A & ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang