It Was Over

19 3 0
                                    

Sabtu malam yang ke sekian kalinya aku menghabiskan sepanjang waktu di bawah selimut. Berbeda dengan teman-temanku yang sedang bergandeng tangan dengan pasangannya di luar sana. Aku melihatnya dari unggahan mereka yang selalu diperbarui.

Aku bukan miss pickme yang selalu ingin dinilai beda, tetapi ada sesuatu yang sulit dijelaskan mengapa aku tak mengikuti saran temanku untuk mencoba mengenal pria lagi. Sesuatu itu berada jauh di tempat yang tak terjangkau, mati dan terkunci.

Meskipun begitu, surga di sabtu malam buatku tidak selalu soal kencan dengan pasangan. Kasur yang baru diganti seprainya, limpahan cemilan dan koneksi internet yang lancar lebih dari cukup untuk membuatku terlena.

Aku sedang asyik berselancar di sosial media sampai saat di mana aku menemukan satu rekomendasi akun yang muncul di beranda sosial mediaku. Tak perlu untuk melihat profilnya sudah jelas bahwa itu akun seseorang yang pernah menempati tempat teristimewa di hati ini.

Hah! Kadang hal kecil yang menyenangkan, bisa dirusak juga oleh hal kecil lainnya yang menyebalkan. Aku melempar ponselku ke tengah kasur, lalu tanpa dikehendaki, pikiran ini terlempar pada bagian hidupku yang begitu indah, tetapi bisa disebut juga menyakitkan, kenapa? Karena hal indah itu tak akan pernah terulang lagi.

Saat itu aku baru menginjak umur 17 tahun dan untuk pertama kalinya aku jatuh hati lewat pandangan seorang pria. Setelah itu, dunia kurasa bak permen kapas yang manis, berwarna dan lembut melenakan diri. Ini bukan kisah cinta bertepuk sebelah tangan, karena nyatanya kami saling memiliki perasaan dan memberi perhatian.

Sayangnya, itu tak bertahan lama, sampai aku mengetahui hati lelaki yang aku cintai ternyata sudah milik orang lain. Jauh sebelum aku menaruh rasa, dia sudah membuat ikatan dengan orang lain.

Semenjak hari itu, indahnya romantisme tak pernah kukecap lagi dan aku juga menolak untuk merasakannya. Namun, aku benar-benar tak masalah soal itu. Dunia ini akan tetap berputar meski tak ada sosok yang bisa duduk di sampingku, bukan?

Aku meraih ponsel yang tadi dilempar. Layar itu masih memperlihatkan akunnya. Kutahan jari ini untuk tidak meng-klik akun itu. Berhasil, aku kembali scroll down media sosial sampai rekomendasi akun itu tidak muncul lagi.

Memang terkadang ada rasa ingin tahu tentang kabarnya, tapi 'kan sesaknya hati tetap ditanggung sendiri akibatnya. Maka lebih baik untuk tak tahu dan tak mau tahu, karena itu bisa menyelamatkan sakitnya hati sewaktu-waktu.

Aku tak pernah menyesal hal itu pernah terjadi, justru aku bersyukur karenanya aku mendapatkan sebuah pelajaran bahwa memang tak semua orang mendapatkan akhir yang indah dengan cinta pertamanya.

Akupun jadi bisa membedakan dua kata usang dalam kamusku, yaitu suka dan cinta. Bahwa cinta pertama bukanlah siapa orang pertama yang membuatku suka, tapi cinta pertama adalah orang yang pertama membuatmu tahu bagaimana arti cinta seutuhnya.

The Chapters Where stories live. Discover now