Wajah dalam Sebingkai Lukisan

16 2 0
                                    

Malam minggu yang fantastis bagiku saat berkesempatan untuk menghadiri pameran lukisan di tengah kota, dan hal yang paling membuatku senang adalah saat mengetahui bahwa lukisan sahabatku akan menjadi salah satu koleksi di acara tersebut.

Museum yang tak terlalu besar itu sudah dipenuhi banyak orang. Namun, aku tak mengalami kesulitan menemukan Sheila karena ia berada di posisi paling menonjol di antara yang lainnya, wanita itu mendampingi lukisannya sendiri.

Aku mengucapkan selamat kepadanya dengan perasaan penuh bangga. Usai tujuanku terpenuhi, aku membiarkan kembali Sheila beramah tamah dengan pengunjung yang lain.

Aku menyusuri lorong sambil menikmati beberapa lukisan kuno yang terpajang begitu anggun. Mataku terhenti pada satu pigura lukisan rupa wajah seorang pria. 

Tanpa sadar, aku terpaku pada lukisan itu dan menikmati paduan cat air yang membentuk hidung ideal dan mata sedalam samudera, rasanya sepasang mata itu seakan balik menghunus tatapanku. Rambutnya yang cokelat muda sedikit melewati alis tebal yang meneduhi bulu mata lentik itu, sementara bibirnya yang penuh, terkatup dengan lekukan senyum begitu tipis.

Semua detail wajahnya terasa cocok dengan warna kulit yang gelap, tapi menurutku itu sedikit eksotis. Pandanganku turun ke leher sampai bahu bidang yang dibalut jas beludru kuno, tapi mengesankanku dengan bayangan sosok lelaki yang gagah dari zaman lampau. Di tepi pigura paling bawah itu tertulis: Dawson (1809 - 1847)

"Meow ..." Fokusku teralihkan oleh suara kucing dan benar saja, tiba-tiba kini seekor kucing dengan bulu berwarna abu-abu muda tengah menghampiriku dengan santainya.

"Astaga, kenapa ada kucing di sini." Aku meraihnya ke dalam pelukan takut ia terinjak-injak oleh banyak orang di sini.

Kucing ini begitu santai di tempat yang ramai, ia menggeliat seperti baru bangun dari tidur.

"Hey!" Aku terkejut saat kucing dalam pangkuanku loncat ke depan dan tepat mengenai lukisan Dawson sampai lukisan tersebut jatuh. Ia mencakar lukisannya seakan itu adalah bantal kapuk yang ada di rumahku.

Seorang satpam datang, mungkin karena beberapa orang di sekitarku mulai saling berteriak. Sang satpam segera siap untuk menyingkirkan kucing tersebut.

Aku berteriak histeris karena tak menduga satpam itu akan memukulnya dengan pentungan, wajahnya diiringi ekspresi penuh geram.

"Tolong berhenti, Pak! Biar saya yang bawa kucing itu keluar." Aku segera meraih kucing itu dan berniat pergi keluar, sempat kulihat lukisan Dawson yang hancur dan wajahnya yang sudah tak terbentuk lagi itu.

***

Molly, kucing itu sudah resmi jadi binatang peliharaanku semenjak kerusuhan yang ia buat di museum beberapa hari yang lalu.

Ia mengikuti setiap langkahku dan akan menurut jika kusuruh untuk diam, seperti saat aku ke toilet atau pergi ke kampus. Molly akan menunggu kepulanganku dengan duduk di meja belajar yang menghadap jendela, aku merasa ia melakukan itu sepanjang aku masih di kampus.

Ia menemani malam-malamku mengerjakan tugas dan selalu duduk serius menatapi layar laptop seakan tengah memahami apa yang aku kerjakan. Molly belum akan tidur jika aku pun belum tidur.

Beberapa hari ini, Molly cukup mengobati sakit hatiku akan perubahan Sheila yang terasa tiba-tiba. Sahabatku satu-satunya itu entah mengapa seperti membuat jarak dan ia kini sudah didampingi sosok teman yang baru, yang memang terlihat lebih segala-segalanya dariku. Aku merasa seperti dibuang.

Sentuhan di lengan membuat pandanganku terangkat. Molly menyentuh lenganku berulang-ulang seraya menatapku intens dengan mata hitam jernih miliknya. Aku tersenyum di sela-sela tangisku dan segara memeluk penuh gemas kucing itu.

Molly segera keluar dari pelukanku dan hal itu selalu membuatku jengkel karena merasa tak bebas kontak fisik dengannya.

Hari menjelang malam saat aku baru tiba di rumah dan dengan terburu segera menuju kamar, karena aku tak melihat keberadaan Molly di jendela seperti biasanya. 

"Molly ..." Aku memanggil kucing itu berulang kali dan mencarinya di berbagai sudut, tapi tak kunjung kutemukan keberadaannya.

Napasku naik turun dan pikiran mulai penuh dengan kekhawatiran. Aku duduk menenangkan diri di kursi belajar dan saat itu kulihat laptopku menyala menampilkan sebuah catatan.

"Jiwaku terkungkung dalam lukisan dan takdir membuatku harus berada di tubuh seekor binatang. Seribu tahun lalu aku lahir dan kini aku menepati janjiku untuk kembali hidup sebagai seorang manusia utuh.

Terima kasih, Luna. Aku mengharapkan kehadiranmu di tempat pertama kali kita bertemu."

***

Angin bulan Desember begitu terasa dinginnya menusuk kulit. Aku melangkah dengan pikiran yang diisi berbagai hal tak masuk akal, hingga tak terasa langkahku sudah sampai ke area yang kutuju.

Beberapa minggu yang lalu aku kesini untuk melihat pameran, tetapi kini ... dengan tujuan lain, yang bahkan aku sendiripun merasa aneh dengan tindakanku ini.

Suasana tak terlalu ramai, hanya beberapa keluarga kecil yang kulihat sedang menghabiskan libur akhir tahun di museum ini.

Aku mulai menyusuri lorong dengan pemandangan beberapa lukisan yang menggantung. Langkahku tepat berhenti di depan sebuah dinding kosong, terlihat sekali bahwa pernah ada pigura yang menggantung di dinding itu.

Pikiranku menyuruhku untuk diam berdiri saja, hingga beberapa saat kemudian, suasana dan pikiranku benar-benar kosong.

Aku menghembuskan napas berat dan tak menyadari bahwa aku sudah berdiri di tempat itu hampir setengah jam. 

Apa yang aku lakukan? Konyol sekali kamu, Luna.

Aku berbalik hendak pulang, tapi langkahku malah terhenti oleh seseorang yang berdiri di sana, di pintu menuju lorong ini. Ia berjalan mantap begitu melihatku dan netra itu kurasakan lurus menatap ke arahku. Tubuh itu dibungkus oleh coat  berwarna coklat yang menjuntai ke belakang.

Aku merasa terlempar ke waktu lampau dan jiwaku merasa berada di tempat terdampar yang jauh sekali. Seperti tidak tepat bahwa aku bertemu dengannya di zaman ini.

"Senang bertemu kembali, Luna."

Aku mengenal wajah itu, wajah dalam pigura lukisan Dawson.

The Chapters Where stories live. Discover now