Chapter 1: Should I Wear A Robe For This Mission?

33 10 2
                                    

Mengelap bibir merahnya seusai makan malam adalah kelakuan seorang wanita mungil berambut putih panjang. Menyadari bahwa pengumuman penting harus segera dirinya hadiri malam ini juga, wanita berseragam hitam itu lekas beranjak dari meja makan di mana meja untuk enam orang hanya dirinya gunakan seorang diri.

Saat siswa lainnya berbagi meja untuk menikmati makan malam, wanita dengan iris mata berwarna ungu gelap itu malah mencari kesendirian menjauhi kerumunan. Dia mengabaikan segala kegaduhan yang ada, tetap berjalan meninggalkan ruang makan dan hendak pergi menghadiri pengumuman.

Aula besar adalah tujuannya. Saat lorong akademi dipenuhi keributan karena seseorang tengah menggeluti perkelahian, wanita itu mengabaikan semuanya dan berusaha melewati kerumunan orang-orang dengan badannya yang pendek. Susah memang, melewati celah-celah sempit saat banyak orang sedang memenuhi lorong akademi seperti milik sendiri. Wanita itu yang harus menyesuaikan diri karena tubuhnya terlalu kecil.

Sebisa mungkin menjauhi masalah. Sebisa mungkin meminimalisir kontak. Sebisa mungkin jangan menarik perhatian. Ketiga prinsip tersebut selalu dia genggam erat-erat layaknya firman penting dalam kitab suci. Sampai ketika dirinya mendatangi aula besar setelah menghindari berbagai masalah, terlihat beberapa siswa juga tengah menunggu pengumuman seperti dirinya.

"Hei, Ziva? Siapa sangka kalau dirimu juga menunggu pengumuman ini!" sapa seorang wanita yang berperilaku ceria dan langsung merangkul pundak Ziva dengan frontal. Wanita berkepang dua itu mencoba beramah-tamah meski tahu kalau Ziva nampak tidak suka.

"Apakah ada masalah jika aku ikut mengajukan proposal Golden Ticket?" balas Ziva bertanya, menyingkirkan tangan wanita itu yang tingginya tidak jauh berbeda dari Ziva. "Lagi pula, Celosia, kupikir sudah pernah kukatakan agar tidak melakukan kontak fisik terlalu banyak denganku."

"Ha, memangnya ada masalah dengan itu? Aku baru saja menyentuh pundakmu dan tidak ada yang terjadi padaku," ujar Celosia tak peduli sambil menusuk-nusuk pipi Ziva dengan telunjuknya. "Tapi, yah, aku tidak menyangka kalau kau juga tertarik dengan Golden Ticket ini."

"Ini akan membantu banyak untuk menuntaskan pendidikanku di akademi. Apa salahnya jika aku mencoba?"

"Yup. Kau benar," ucap Celosia membenarkan. Wanita berambut biru gelap yang ujungnya berwarna merah muda itu melihat-lihat sekitar. Mendapati siswa lainnya mulai mendatangi aula hingga terasa ramai. "Ternyata ramai juga yang ikut. Kupikir ini akan mudah jika saingannya hanya Ziva seorang."

"Terdengar seperti kau baru saja meremehkan diriku," ketus Ziva menegur.

Ziva yang tengah bersandar di salah satu pilar melirik ke arah jam besar di ujung ruangan. "Ini sudah pukul 20.20 dan tidak ada siapa pun yang datang untuk mengumumkannya," lanjut Ziva penasaran.

Celosia kemudian mengangkat bahunya seraya berkata, "Yah, pengumuman itu tidak selalu harus disampaikan lewat mulut se—"

Belum selesai kalimatnya dilontarkan, secarik surat memelesat tepat ke depan kaki mereka berdua. Membuat Ziva dan Celosia tertegun sesaat, mengira-ngira tentang apa isi amplop putih tersebut.

"Apa kubilang?" ujar Celosia tersenyum tipis pada Ziva, sementara tangannya mengambil surat tersebut dan melihat isinya.

Ziva pun turut mengambil amplop di depan kakinya dan melihat apa yang tertulis di dalam sana. Tertulis di atas selembar kertas, dengan tinta hitam yang begitu pekat, nama ZIVA BRIELLA dinyatakan lolos dalam seleksi proposal GOLDEN TICKET.

Termasuk pesan kecil di bawah pengumuman tersebut, diberitahukan kepada siswa yang dinyatakan lolos agar mendatangi ruang Profesor Valkyrae selaku kepala sekolah dengan segera. Ziva pun melipat kembali suratnya, meletakkan kertas tersebut di dalam saku seragamnya.

Forms of MemoryDonde viven las historias. Descúbrelo ahora