1. Penolakan

395 34 11
                                    

"Kangen aku nggak?"

Seperti minggu-minggu sebelumnya, Nadine tak pernah absen untuk datang ke kafe bernuansa vintage-minimalis itu. Sekedar untuk memesan red velvet latte kesukaannya atau sembari mengerjakan tugas. Namun dibalik itu semua, ada satu alasan besar mengapa dia selalu rajin ke sana setiap akhir pekan-yaitu karena barista idamannya hanya bekerja setiap weekend.

"Enggak." jawab pria jangkung yang mengenakan apron coklat di tubuhnya.

"Kita udah seminggu nggak ketemu, masa Kadep nggak kangen aku? Jahat banget." kata Nadine melas. "Padahal aku kangen Kadep."

Pria itu Deva. Nadine memanggilnya Kadep. Singkatan dari Kak Deva-dengan huruf V diganti P. Katanya selain lebih sederhana, panggilan itu juga menjadi panggilan kesayangannya untuk Deva.

"Mau pesan apa, Nad? Yang kayak biasa?" tanya Deva. Kali ini nadanya terdengar sedikit lebih ramah, seperti ketika dia melayani pelanggan lainnya.

"Pesan hatimu boleh?" Mata Nadine tak lepas dari wajah Deva.

"Nggak dijual."

Sudah menjadi hal biasa Deva meladeni kelakuan heroik Nadine. Dia sudah kebal. Diganggu Nadine sudah seperti makanan sehari-harinya. Bahkan jika Deva mendorong pergi Nadine, pada akhirnya gadis itu akan kembali lagi. Dan lagi.

"Kapan dijual? Aku mau beli," balas Nadine.

Nadine selalu memiliki jawaban yang mampu membuat Deva menarik napas dalam lalu menggelengkan kepala tidak habis pikir. Beruntung Nadine satu-satunya antrian hari ini. Jika tidak, mungkin Deva sudah mengusir Nadine sedari satu menit lalu. Lantaran gadis itu yang lebih banyak berbasa-basi dibanding melarisi kafe tempatnya bekerja.

"Red velvet biasa ya," ucap Deva tak mengindahkan perkataan Nadine.

"Boleh. Harganya masih sama kan?"

"Masih."

Nadine bersiap mengambil dompetnya di tas. "Kenapa nggak naik-naik harganya? Padahal harga bawang merah udah naik loh," katanya.

"Kamu mau harganya aku naikin?"

Gadis itu tersenyum lebar lalu menggeleng. "Ada gratisannya nggak hari ini?"

Deva yang sibuk dengan layar tablet di depannya melirik Nadine sesaat. "Nggak ada."

"Kadep deh gratisannya nggak apa-apa, aku mau." ucap Nadine gigih.

"Enam belas ribu. Mau bayar pakai apa?"

Nadine mengambil uang tunai satu lembar dan menyerahkan ke Deva. Belum sempat Deva mengambil, Nadine lebih dulu menarik uang tersebut kembali. "Gratisannya Kadep, kan?"

Deva tidak menghiraukan drama Nadine. Tangannya menjangkau lebih jauh untuk mengambil uang dari tangan Nadine lalu mencetak struk.

"Ya udah, waktu deh kalo gitu. Kadep punya waktu kan selesai kerja nanti?" tanya Nadine tetap berusaha untuk mendapat perhatian dari Deva.

"Ini kembaliannya," Deva memberikan beberapa lembar uang kepada Nadine beserta struk. "Aku sibuk."

"Sibuk ngapain? Mikirin aku, kah?"

Deva mencondongkan tubuhnya untuk melihat Nadine lebih dekat. "Kamu mau dipikirin?"

Alih-alih menjauh, Nadine malah mendekatkan wajahnya. Kini justru Deva yang takut serta was-was. Harusnya dia mengingat bahwa Nadine adalah gadis nekat setengah tidak waras yang pernah dia kenal.

"Iya, gimana caranya supaya Kadep mikirin aku?"

Deva menarik tubuhnya. "Jadi presiden dulu."

Seperti percobaan sebelum-sebelumnya yang selalu menghasilkan penolakan. Nadine ditolak.

II. ALMOSTWhere stories live. Discover now