5. Sosok Dari Masa Lalu

113 11 3
                                    

Hal yang selalu Nadine tunggu-tunggu; jalan bersama Deva.

Hal yang tidak pernah Deva bayangkan akan terjadi dalam hidup; jalan bersama Nadine.

Setelah Deva setuju akan ajakan Nadine untuk menonton film, tidak ada pilihan lain selain dia menepati janjinya sendiri. Toh, ini hanya menonton. Bukan dalam artian lain seperti pendekatan. Selain itu, dia pun memiliki banyak waktu luang karena status barunya sekarang menjadi pengangguran.

Hari ini, Deva hanya menggunakan kaos lengan pendek dengan bawahan celana jeans, seperti penampilannya sehari-hari. Tampak sekali jika dia memang tidak berniat dalam memilih outfit. Lain hal dengan Nadine tampak cantik menggunakan blouse crop top dan celana pendek. Tampilannya hari ini merupakan hasil dari sejak kemarin malam dia memilih outfit yang hendak dia kenakan. Maklum, Nadine menganggap ini sebagai kencan pertama mereka.

“Kamu nggak kedinginan nanti di dalem bioskop pake ini?” tanya Deva seraya menyerahkan helm kepada Nadine.

Gadis itu kembali melihat pakaiannya. 

Padahal dia sudah berdandan sedemikian rupa, memilih baju semalaman, dandan selama satu jam, dan menggunakan parfum yang biasanya hanya digunakan di acara penting-penting saja. Alih-alih mendapat pujian sebagaimana yang Nadine harapkan, Deva justru melontarkan pertanyaan yang membuat gadis itu melengkungkan bibirnya ke bawah. Antara Deva yang tidak peka atau Deva yang terlalu perhatian. Nadine tidak tahu sekarang Deva sedang mode yang mana.

“Nggak lah, nanti kalo kedinginan bisa minta pegawai bioskopnya buat kecilin AC-nya.” jawabnya asal. Tak ingin memasukkan pertanyaan Deva sebagai hal serius.

“Dikira bioskop punya mbahmu.” Deva tertawa kecil. Lalu menyuruh Nadine untuk segera naik.

Bukan Nadine namanya jika sepanjang perjalanan dia tidak ngoceh tentang hal-hal tidak penting. Seperti biasa-biasanya, Deva hanya menjadi pendengar dan sesekali menanggapi ocehan Nadine. 

Jika Deva ditanya Nadine terlalu berisik atau tidak, jawabannya tidak. Dia sudah biasa dengan hal itu. Kakak perempuannya cerewet, ibunya cerewet, bahkan Deva sendiri pun cerewet. Hanya saja setiap berhadapan dengan Nadine, dia otomatis menjadi seseorang yang tidak banyak bicara.

Bukan. Deva bukan benci Nadine. Dia hanya mencoba mengimbangi gadis tersebut. Tidak mungkin kan Nadine yang cerewet harus dilawan dengan kecerewetannya juga?

“Kadep mau nonton ini, nggak? Gita Cinta dari SMA?”

Deva menatap poster yang bergambar dua orang mengenakan seragam SMA.

“Kok film menye-menye, sih?” suara Deva terdengar melayangkan protes.

Film romansa bukan selera Deva sekali. Dia lebih suka film dengan genre komedi dan aksi. Namun karena kali ini dia tidak menonton sendiri atau dengan teman-temannya, harusnya Deva sadar dan maklum dengan hal ini.

“Kadep sukanya nonton apa? Mau horor aja? Tapi aku kurang suka horor. Serem tau horor Indonesia. Terlalu banyak jumpscare.”

Akhirnya Deva menghela napas, mengalah. “Ya udah, kita nonton itu aja.”

Toh, sebetulnya Deva juga tidak bisa menonton horor. Dia tidak suka film hantu. Dia tidak suka hal-hal menakutkan dan menyeramkan.

Selanjutnya Deva membeli dua tiket untuk mereka berdua. Nadine hendak mengganti, tetapi Deva menolak. Bisa rusak harga dirinya jika membiarkan Nadine menggantinya.

“Kan, sekarang Kadep pengangguran, split bill aja kita.” ujar Nadine.

“Meski pengangguran bukan berarti aku nggak punya uang, Nad,” balasnya, “toh, ini juga cuma sekali kita kayak gini.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

II. ALMOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang