2. Pertemuan Pertama

126 19 4
                                    

Selalu ada cara untuk jatuh cinta. Bahkan dalam kejadian-kejadian tak terduga sekalipun.

***

Salah satu impian Nadine adalah pergi sejauh-jauhnya dari rumah agar dia merasakan setitik kebebasan. Jauh dari keluarga yang sering kali membandingkan dirinya dengan sang kakak yang memiliki prestasi mentereng. Beda dengan dirinya, tidak bisa melakukan apa-apa. Dia payah, tidak bisa menjadi anak yang membanggakan—itu yang Nadine pikirkan setiap harinya tentang dirinya sendiri.

Selain suka membanding-bandingkan, orang tua Nadine juga cukup ketat. Memiliki strict parents membuat gerakan Nadine seringkali terbatas, maka di hari pertamanya ketika menginjakkan kaki di Jogja, saat baru saja turun dari pesawat, dia menarik napas lega. Menghirup oksigen dalam-dalam dan mengirimkannya ke dalam paru-paru. Seketika kepalanya ikut merasakan ketenangan yang berarti.

Mimpi yang dia tunggu-tunggu akhirnya datang juga.

Sebentar lagi petualangannya akan dimulai. Petualangan mencari cinta—kisah yang belum pernah ia kecap ketika sekolah. 

Jika ditanya bagaimana Nadine bisa jatuh cinta pada pria bernama Deva Arya Priatama, maka jawabannya sederhana. Sesederhana pertemuan pertama mereka. Sesederhana seorang Deva menawarkan bantuan kepadanya. Padahal mereka tidak saling mengenal.

Beginilah kira-kira pertemuan pertama mereka.

Langkah Nadine terhenti. Tangannya menggenggam erat kopernya. Ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Perlahan lalu lalang manusia di bandara Adisutjipto menjadi pemandangan yang sangat semrawut. Meski tampak begitu sibuk, tak menghalangi rasa damai yang menyelinap dalam hatinya.

“Mbak?” Seseorang menepuk pundaknya. Nadine terperanjat. Menatap pria tinggi di sebelahnya.

Tampan. Batin Nadine.

“Maaf, tapi kayaknya Mbak harus ke toilet sebentar, deh, ada noda di celananya,” Meski sedikit malu-malu pria itu tetap mengatakan kalimatnya dengan lancar.

Benar batin Nadine. Sepertinya dia salah memprediksi hari pertama menstruasinya.

Suara dari pemberitahuan mengenai keberangkatan pesawat dari pengeras suara kian membuat pikiran Nadine kosong melompong. 

Hiruk-pikuk suasana bandara kian terasa kusut. Tak peduli seberapa cepat waktu berjalan di sekitarnya, dia merasa bagai tokoh utama yang kehilangan kewarasannya.

“Halo, Mbak?” Pria itu melambaikan tangan di depan wajah Nadine.

“Oh iya? Toilet, ya? Toilet…” Nadine tampak kebingungan dan kalut. Melihat kanan-kiri untuk menemukan toilet.

“Toiletnya ke arah sana,” tunjuknya.

“Sana?”

Sang pria mengangguk. 

Nadine mengeluarkan kemejanya tidak nyaman. Berusaha untuk menutupi celana bagian belakang. 

“Mau saya bantu? Maksudnya ke toilet kalo nggak tau,” tawarnya.

Apakah semua orang Jogja baik hati seperti ini?

“Nggak ngerepotin?” tanya Nadine lirih.

“Enggak. Mari.”

Nadine melangkah dengan tidak nyaman. Dia merutuki dirinya sendiri lantaran begitu ceroboh dan memalukan. Ya, meski sebetulnya Nadine pun tau bahwa orang-orang tidak ada yang menghiraukannya. Kecuali pria yang berjalan di sampingnya.

Begitu melihat tanda toilet, Nadine langsung masuk dan mengganti celananya. Beruntung dia memasukkan pembalut ke dalam kopernya, jadi dia tak harus berpusing ria mencari keberadaan penolong semua perempuan ditiap bulan itu.

II. ALMOSTWhere stories live. Discover now