Lubang Keputusasaan

28 4 8
                                    

Marcello Cakra Adidaya. Umur 18 tahun. Memiliki tubuh tinggi dan atletis. Rambut cokelat berkilauan. Bibir merah mudanya yang mempesona selalu terlihat menyunggingkan senyuman. Memiliki bakat yang terlalu berlebihan untuk seorang manusia biasa. Merupakan salah seorang calon pewaris sebuah perusahaan raksasa yang kini tengah menggurita. Sosoknya terlalu bersinar untuk dijangkau kaum biasa.

Dimas mendecakkan lidahnya saat sosok Marcel lagi-lagi terlihat sedang tersenyum pada gadis yang tengah menyapanya. Entah perasaan dari mana, Dimas merasa dengki akan semua hal yang didapat oleh pemuda itu.

Lihatlah pemuda maha sempurna itu, dia selalu nampak tersenyum bagai tidak memiliki beban. Padahal beban pekerjaan rumah yang diberikan oleh para guru yang menggunung bagai gunung everest hampir membuat Dimas menjadi budak guru setiap harinya. Jadi, bagaimana bisa dia masih bisa menyunggingkan senyuman semenawan itu?

Dimas kembali berdecak. Matanya tidak bisa lepas dari sosok Marcel yang kini tengah membantu seorang guru. Dengan tampang ramahnya pemuda itu menawarkan sebuah bantuan pada guru yang sama sekali tidak terlihat kesusahan. Dan tentu saja, dengan sikapnya yang selalu seperti itu membuatnya berhasil dan pantas mendapatkan gelar seorang pangeran di sekolah.

Tidak di dunia, tidak di sekolah, Marcel selalu menjadi seorang pangeran. Sinar terangnya yang menyilaukan bagai meredupkan cahaya disekitarnya. Hal itu sungguh dibenci oleh Dimas yang bahkan dalam keadaan gelap pun dia tidak dapat bercahaya. Sosoknya bagai melebur dengan kegelapan itu sendiri.

Lihatlah dirinya. Walau dirinya terlahir dikeluarga yang berkecukupan, dirinya masih tidak ada apa-apanya dengan sang pangeran. Bekas luka yang cukup panjang menghiasi kening hingga pipinya. Belum lagi tatapan matanya yang suram membuatnya dikenal sebagai cowok berandalan di sekolah. Yah, walaupun pada akhirnya Dimas memilih untuk membuat tanggapan tersebut menjadi kenyataan.

Apa jadinya ketika dirinya yang tidak memiliki cahaya secuilpun disandingkan oleh pangeran maha sempurna seperti Marcel? Apakah dirinya tidak langsung menghilang?

Dimas menghela nafas lelah, membandingkan dirinya dengan sang pangeran tidak akan ada habisnya. Pemuda itu kemudian berdiri, bangkit dari duduknya untuk beranjak ke kelas. Masih banyak yang harus dia lakukan selain duduk dan merenungi hal yang sia-sia.

Karena mau bagaimanapun, Dimas tidak akan pernah menjadi pangeran di sekolahnya.

***

Dimas memaki kencang tatkala melihat ban motornya sudah tidak bisa lagi disebut sebagai sebuah ban. Lubang tusukan terdapat dimana-mana, belum lagi ban beserta kerangkanya sudah terlepas dari tempatnya.

Pemuda itu menggeram keras, kakinya dengan kesal menendang ban motor tersebut. Sialan. Dirinya lelah setelah seharian duduk bagai orang tidak punya kerjaan di kelas. Dan sekarang, dirinya harus mendorong motornya untuk bisa pulang?

"Jangan bercanda!" sungutnya, kembali menendang ban motor miliknya.

Otak Dimas kemudian berputar, memikirkan nama-nama yang mungkin menjadi penyebab kemalangan yang menimpanya. Beberapa nama serta wajah dari tersangka muncul dikepalanya. Membuatnya semakin emosi hingga kulit wajahnya berubah merah padam.

Buku-buku jarinya kemudian terkepal, hatinya berteriak ingin membalaskan dendam. Namun, sebisa mungkin Dimas tahan hal tersebut, karena nasib dirinya harus lebih diutamakan sekarang.

Pemuda dalam balutan seragam putih abu-abu berantakan itu kemudian merogoh sakunya. Mendial nomor seseorang unntuk membantu masalahnya. Karena demi apapun, Dimas tidak ingin mendorong sebuah motor yang ban depannya terlepas hingga ke sebuah bengkel.

"Halo?... Bisa bawa motor gue?.. Di sekolah... lo pikir siapa lagi?..." Dimas terdiam, berdecak ketika mendengar gelegar tawa dari seberang sana. "Thanks. Ntar gue ambil sendiri."

The Prince is deadWhere stories live. Discover now