Istana dan Pangeran

4 0 0
                                    

Dimas memasuki sebuah mobil hitam mengkilat yang dulu hanya sebatas mimpinya. Kini mobil itu, beserta seorang sopir yang ada didalamnya, menjadi miliknya. Semua hal itu ada dibawah kendalinya.

Tanpa melirik sopir yang nampak intens mengamati penampilannya, Dimas memangku kakinya lantas berpangku wajah. Matanya menyorot gerbang pemakaman dengan dingin. Menatap gerbang yang menyambut sebuah tempat dimana tubuhnya bersemayam. Tidur untuk selamanya.

"Jalan, Pak." ucap pemuda itu yang langsung diaminkan oleh sang sopir.

Mobil tersebut berjalan pelan, seolah membiarkan Dimas menikmati perjalanan yang tenang. Pagar makam terlihat membentang, jajaran makam terlihat beraturan dari tempatnya.

Dimas menghembuskan nafas, tidak menyangka akan bertemu papanya di makam dirinya sendiri. Padahal dari dulu dia mengira jika papanya itu tak peduli padanya. Hanya peduli pada setumpukan kertas yang menjadi prioritas sejak kepergian mamanya.

Kedatangannya membuat kepalanya yang kacau semakin kacau. Membuat Dimas semakin bingung akan jalan kehidupan yang harus dia pilih.

Karena sejatinya dia bukan Marcell dan bukan Dimas. Karena itulah dia bingung apa yang harus dia lakukan untuk esok mendatang. Apakah dia harus hidup sebagai Marcell? atau sebagai Dimas? Menentukan jawabannya sama sulitnya menjawab pertanyaan sederhana mana yang lebih dulu ada, telur atau ayam?

Padahal itu hanya pilihan sederhana. Tapi sesulit itu Dimas menentukannya.

Hembusan nafas kembali keluar dari mulut Dimas. Kali ini dirinya menarik perhatian sopir yang ada di balik kemudi. Lewat spion belakang matanya melirik, menatap Dimas yang tengah termenung menatap jendela mobil.

"Tuan muda, anda baik-baik saja?" tanya sopir itu nampak khawatir.

"Ya." jawab Dimas tanpa melirik sang sopir. Ada jeda sejenak sebelum pemuda itu kembali berbicara. "Langsung menuju rumah utama."

Mata sang supir membola, dirinya kembali melirik Dimas yang masih terpekur menatap luar. "Anda yakin?" tanyanya skeptis.

"Hmm." pemuda itu bergumam, lantas kembali menghembuskan nafas. "Papa menungguku." ucapnya pelan.

Memikirkan nasibnya yang sebentar lagi akan bertemu dengan sang raja membuat tangan Dimas terkepal. Ada rasa resah yang menggangunya. Terasa sangat mengganjal dan memuakkan.

Dimas menghembuskan nafasnya lagi, memutar otak kembali. Dirinya memikirkan cara untuk berhadapan dengan Adelio Cakra Adidaya, Ayah Marcell. Tidak ada informasi akan sosoknya, membuat Dimas kebingungan bagaimana harus bersikap dihadapannya.

Karena selama opname kemarin, tidak ada satupun anggota keluarga yang menjemputnya. Dirinya hanya diurusi oleh seorang pria yang kini tengah menyupirinya. Seorang pelayan yang bertugas mengasuh dan menjaganya.

Mobil terus melaju, membawa Dimas masuk kedalam sebuah komplek yang asing. Mata Dimas mengamati sekeliling, tidak percaya ada tempat seperti ini ditengah kawasan padat penduduk. Lihatlah, sejauh mobil melaju, pepohonan menggiringnya.

Dimas menurunkan jendela mobilnya, membiarkan kicau burung menyapa pendengarannya. Semerbak bau pepohonan menyambutnya, memberikannya ketenangan dari kemelut yang mengganggunya.

Pohon-pohon mulai hilang, diganti dengan padang rumput menawan. Sebuah bangunan megah menunggunya tak jauh dari tempatnya saat ini. Bangunan mewah yang tidak layak disebut rumah.

"Woah!" Dimas berdecak kagum. Semakin mengerti mengapa Marcell disebut pangeran.

Sang supir tersenyum tipis, membiarkan Dimas memperhatikan suasana sekitar yang memanjakan mata. Terus mengemudi mobil mereka hingga akhirnya berhenti di depan pintu utama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Prince is deadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang