🌻 One 🌻

473 67 15
                                    

⚠️Warning: Commission

Kandungannya sudah memasuki bulan ke empat. Dia tampak bugar dan sehat walau kepala acap memikirkan masalah runyam. Berjalan santai di taman bunga mawar merah muda, sembari mengamati batang-batang yang sekiranya layu untuk dipangkas. Lingkungan sunyi, semilir angin menjelang siang, membantu menghantarkan suasana damai ke sanubari. Tak ayal bulan-bulan yang telah dilewati membuat Hinata mulai merasakan kenyamanan dan menyatu dengan sekitar.

"Bu, saya bawakan teh, kue dango dan buah persik untuk Anda." Teriakan kecil merambat ke telinga, menghentikan pergerakannya seiring pandang menengok ke belakang.

"Sebentar lagi aku datang, Yua," katanya singkat agar dibiarkan menuntaskan pekerjaannya sedikit lagi.

Di gazebo yang terletak di sisi kanan taman, si pelayan muda tengah berdiri dengan tangan ditumpuk ke depan. Dia memperhatikan saksama aksi dari wanita di kejauhan, mengulas senyuman pertanda dia menaruh kagum diam-diam. Tidak ada alasan tidak mengidolakan satu-satunya wanita yang dia hormati serta dilayani di rumah ini. Hinata memberinya kelapangan ruang dan kebebasan bertindak, meski itu tiada memengaruhi dedikasinya selaku hamba sahaya.

"Apa Anda kelelahan? Mari saya pijat."

"Aku hanya memotong ranting bunga, bukan mencangkul, Yua--duduklah, aku tidak bisa menghabiskan kue ini sendirian." Si pelayan muda membungkuk sekejap jangka dia mengisi kursi di hadapan Hinata.

"Saya hanya khawatir. Anda sudah bekerja keras, memotong ranting memang kelihatan mudah. Tapi, saya pernah coba mengelilingi taman ini sambil mengumpulkan daun-daun kering dan berikutnya adalah pertama kali bagi saya merasakan kram di pinggang." Yua yang banyak bicara mengisi keheningan pertengahan hari di situ, menemani waktu bersantai Hinata seperti biasa pada setiap pergantian hari.

"Jangan meremehkan begitu, kau tahu tubuhku sangat prima 'kan? Dokter rutin berkunjung seminggu sekali, sampai saat ini kondisiku baik-baik saja."

"Maafkan, saya. Tentu Anda dan calon bayi dalam keadaan sehat." Yua menunduk sungkan, kendati Hinata sekadar menyeringai tipis sebab ulahnya. "Saya takut lalai dalam mengawasi Anda. Jika terjadi apa-apa, saya tidak akan mengampuni diri saya sendiri. Anda adalah amanat dari Tuan Kakashi dan Yamato. Mereka sudah banyak berjasa kepada keluarga saya di desa. Selain mempersembahkan diri, saya tidak punya cara lain untuk membayarnya."

Sejemang Hinata mengembus rendah napasnya, menyesap teh hati-hati untuk lalu berkata, "Nasib kita hampir sama. Bedanya aku berhutang budi langsung pada keluarga Kazemaki. Semua yang kulakukan rasanya tetap saja kurang. Tanpa uluran tangan mereka, hidupku pasti sudah hancur dari dulu. Ibu Kushina sungguh mulia hatinya. Dia menganggapku layaknya seorang anak. Dia memenuhi segala kebutuhanku, menyekolahkan aku ke jenjang yang tinggi, dia juga terlibat langsung dalam membentuk kepribadianku sampai seperti ini. Aku berasal dari keluarga di sebuah desa dengan perekonomian pas-pasan. Beruntungnya ibuku mengenal keluarga Kazemaki. Mendiang ayahku merupakan pengawal setia keluarga ini. Kalau bukan karena kepedulian mereka, aku, ibu beserta adikku mungkin sudah mati. Pandemi turut menyerang desa, hingga satu-persatu warga meninggal secara bersusulan."

Yua mendongak, menyimak Hinata melalui air muka penasaran. "Saya sudah mendengar cerita ini sebelumnya dari Anda. Tapi, tidak mengira bahwa keseluruhannya bisa sekompleks demikian."

"Aku tidak bermaksud menutupinya, bukan berarti dapat dengan gampang juga membeberkan ke mana-mana. Bagaimanapun itu kisah pribadiku. Sebagian orang tidak peduli, ada juga yang berpikir bahwa ini menarik dan sisanya mencemooh."

"Saya tidak berani berbuat seperti itu, Bu."

"Aku hanya memperkirakan reaksi orang-orang asing yang mungkin tahu masa laluku." Hinata mengambil setusuk dango untuk dilahapnya dalam diam. Sedang, Yua betah menjadi pengamat.

"Bu, boleh saya bertanya?"

"Akan kujawab jika memang diperlukan." Bersahaja sekali Hinata merespons pertanyaan tadi, dia menyesap lebih lama teh itu sambil menanti keingintahuan Yua. Gadis belia ini sudah dianggapnya seperti seorang adik yang bisa selalu menemani dan mendengarkan dia kapanpun. Berhubung dia serta saudara perempuan kandungnya terpisah jarak lumayan jauh, keduanya tak bisa berbagi afeksi juga ragam perubahan emosional.

"Saya rasa ini agak sensitif. Tapi, saya tidak bisa menahannya lagi. Hukum saya bila perkataan ini menyinggung Anda, Bu."

"Kau tentu tahu mana yang pantas menjadi urusanmu dan mana yang semestinya kau abaikan. Jadi, terserah padamu, Yua. Aku hanya berusaha sportif untuk membalas segala perilakumu."

"Saya memohon sekali lagi maafkan saya. Tempo hari saya tidak sengaja menguping pembicaraan Tuan Kakashi dan Yamato--"

"Itu kesalahan." Hinata menyela usai pengakuan Yua berhasil mengejutkan nalarnya.

"Saya tahu. Saya bersumpah ini tidak pernah terjadi sebelumnya " Satu kali erangan napas Yua mengudara ringan. "Kapan ayah dari si bayi diizinkan menjenguk calon anaknya? Bu, dengan setulus hati saya meminta maaf. Saya siap menerima ganjaran jika ucapan ini mengganggu Anda." Yua tahan merunduk terus sepanjang dia menuturkan kata-kata itu.

"Aku juga tidak tahu apakah dia diperkenankan melihat anaknya atau tidak. Sampai kini kami semua sepakat menyembunyikannya." Dia ungkapkan dengan hati diliputi kebimbangan, Hinata mengobati pedih yang singgah lewat sapuan lembut jemarinya ke permukaan perut yang membesar. "Kehadirannya akan menjadi kesalahan. Tapi, aku berjanji kelak anakku akan mendapatkan segala haknya."

"Bu, dia hanya seorang anak. Apakah itu adil? Kejahatan apa yang diperbuat ayahnya hingga dia ikut menanggung?" Hinata bergeming pada semua kebenaran yang dicerna. Yua begitu mirip dirinya. Mereka sama-sama di usia belia ketika memutuskan mengabdi kepada figur adi daya. Angka enam belas tak pula menempatkan keduanya pada pemikiran awam nan dangkal, melainkan tanggap terhadap selingkung, berkemampuan menganalisa setiap gerak gerik tertangkap pandang.

"Permasalahannya sudah terlampau jauh, Yua. Aku tidak yakin untuk menjelaskannya lebih rinci. Yang barangkali aman kau pahami, ada banyak kesenjangan di antara kami berdua. Hal itu berisiko merusak tatanan sebentuk instansi juga nama baik dari silsilah murni yang terjaga."

"Apakah yang Anda maksud Kazemaki?" Mustahil mengelak tatkala respons Yua tak mengingkari fakta yang coba dia tutupi samar. "Bayi Anda membawa darah Kazemaki, bagaimana menyikapinya?"

"Dia kesalahan."

"Aku pikir bukan soal itu. Tetapi, peraturan yang dijunjung demi mempertahankan ego turun temurun keluarga besar. Bukankah zaman selalu menghadapi perubahan di sepanjang pergantian tahun? Kenapa harus memaksakan diri untuk memegang prinsip yang sejatinya patut diperbarui? Anda wanita bermartabat, berkarakter kuat, pintar dan cantik. Apalagi kekurangannya?"

"Kau lupa aku berasal dari mana. Sebagus apapun sampul luarku, darahku masih tetap serupa. Aku tidak pantas menjadi bagian singgasana Kazemaki."

"Lalu, anak Anda dan darah yang mengalir padanya?! Perlakuan sama tak setimpal terhadap bayi. Dia masih suci, saya sungguh mengasihani kelahirannya nanti."

"Yua, ingat di mana batasanmu!" Hinata menyerukan tegas. "Aku aku sudahi topik ini. Jangan sampai ada perbincangan lanjut, atau aku bisa menyamaratakannya sebagai pelanggaran! Kau mengerti?!"

Continue ...

Foster child (Commission) ✓Where stories live. Discover now