Don't Leave Me

1.9K 219 24
                                    

Barangkali [Name] lupa. Dia merasa durhaka telah meragukan Gojo Satoru untuk sesaat setelah pria itu pergi dari ruangan dingin beralas lantai keramik putih tulang. Dia takut Gojo akan meninggalkannya sebab tak kunjung sadar dari mati suri yang sakitnya sangat menyayat itu. Berapa lama dia harus dengan sabar menunggunya? Satu bulan, tiga bulan?

Entahlah, [Name] tidak mau berharap banyak.

Jika matanya tak kunjung membuka, maka dia hanya bisa pasrah bila suatu saat nyawanya di ambil oleh Sang Dewa. Tangan kasar mengelus pangkal hidungnya. Tak terasa sudah lima hari setelah jantung [Name] kembali berdetak, Gojo masih duduk di tempat yang sama. Kekasihnya tak bosan menunggu, masih ada harapan, begitu pikirnya.

Wangi parfum kayu-kayuan dan sedikit rempah pedas yang berasal dari tubuh Gojo membuat [Name] sedikit terusik. Ia berusaha menggerakkan jari telunjuknya. Mustahil, bahkan tangannya mati rasa.

Usapan Gojo pindah menuju tulang selangka [Name] lalu kembali pada kening pucat yang sedikit berkeringat. Andai saja [Name] melihat, raut wajah angkuh itu mengerut seakan dia sedang tenggelam dalam kecemasan.

Gojo mahfum, wanitanya sudah melakukan banyak hal untuk keberlangsungan dunia. Ia bangga namun sekaligus bersedih. Di luar rumah sakit hujan lebat, guntur saling bersautan. Gojo tidak menangis, tapi biarkan alam saja yang menjadi wakilnya untuk bersedih.

Punggungnya ia sandarkan rileks di kursi penunggu. Tangan kasar dan sedikit mengapal itu masih setia menggenggam tangan [Name].

"Setelah kau sadar, ayo pergi ke tempat yang jauh. Hanya kau dan aku. Kita bisa mendirikan pondok kayu di tengah hutan dan hidup damai."

Gojo menarik napas dalam.

"Tidak perlu menikah resmi, itu hanya sebuah kertas untuk mendapatkan legalitas dari pemerintah. Ayo lakukan pernikahan ruh maka dengan itu kita tidak akan bisa terpisahkan. Bukankah bagus jika aku pergi berburu dan kau menunggu sambil menjahit syal?"

Gojo sedang memintanya untuk hidup bersama.

"Aku tidak akan peduli lagi dengan urusan ini. Aku dan kau... mari menarik diri dari profesi penyihir jujutsu."

Hatinya sesak, prianya sedang dalam keadaan putus asa. Walaupun [Name] mengerti Gojo senang membual ini itu di depan teman-temannya selagi wanitanya terbaring lemah di ranjang empuk ini, tetapi tak seorangpun dari mereka tahu bahwa pria berambut putih-ungu ini sedang berkabung.

Siapa yang akan menyembuhkanmu, Gojo Satoru?

Genggaman tangan itu mengerat. "Aku ingin kue karamel buatanmu."

Keajaiban datang. Mungkin Sang Dewa sedang berpihak pada wanita yang sedang gundah gulana ini. [Name] merasa jarinya sedikit tersengat oleh sesuatu, pupilnya bergerak-gerak samar di balik kelopak mata. Gojo tidak menyadari, pria itu masih sibuk tertunduk sambil menutup mata. Bukan tidur, namun dia sedang menggigit pipi dalam supaya tidak menangis.

Tak berhenti di situ saja, kini [Name] bisa merasakan jari-jari kakinya yang ia paksa untuk sedikit bergerak atau bergeser satu senti ke kanan dan ke kiri. Napasnya memburu dalam alat pernapasan, perasaan hangat dan senang menggerogoti hatinya. Tak menyerah, ia mencoba membuat sedikit suara dari kerongkongan. Walaupun matanya masih belum mampu terbuka, sesedikit mungkin ia berusaha untuk sedikit mendesah walau terdengar sumbang.

"Eungh...."

Diluar dugaannya, ia berhasil mengeluarkan suara parau meskipun hanya satu detik serta begitu cepat sampai-sampai telinga [Name] menangkap suaranya begitu samar.

Gojo mendongak dramatis, jantungnya berdentum kencang. Kursi kayu usang itu terlempar ke belakang saat tubuh jangkung berdiri tiba-tiba. Tidak sempat berbicara untuk menanyakan ini itu, suara langkah kaki berbalut pantofel itu terdengar gaduh. Gojo berlari keluar dari ruangan, memanggil Shoko yang sedang merokok di koridor ruang penyembuhan.

Blue Eyes [Gojo x Reader] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang