Makhluk Planet Nibiru (2023)

64 9 0
                                    


Makhluk Planet Nibiru menyaru sebagai manusia. Sebagai tantangan atas keinginannya menyelamatkan manusia yang menurut kitab sejarah adalah tempat di mana entitas-entitas malang yang tak terselamatkan dibuang dan dibiarkan hancur dengan sendirinya. Sebagai gantinya, ingatan Makhluk Planet Nibiru mengenai planet asalnya dihapus.

Sebelumnya, mari berkunjung ke planet asalnya itu terlebih dahulu.

Nibiru, tempat di mana tidak ada pembagian kata-kata dan istilah. Tempat di mana "warna" hanyalah soal perspektif masing-masing individu, tanpa pernah diperdebatkan manakah yang paling salah dan manakah yang paling benar. Nibiru, tempat di mana siang dan malam berjalan beriringan tanpa membakar atau membutakan. Tempat di mana ia lahir sekaligus mati, sebab jalannya kehidupan di Planet Nibiru adalah sekejap bunga Wijayakusuma, dan seabadi putaran pembangkit listrik tenaga surya.

Birunya Bumi memang berbanding terbalik dengan penduduknya yang dideskripsikan begitu rumit dalam kitab sejarah planet asalnya. Namun sebelum ia selesai mengagumi betapa biru dan cemerlangnya penampakan planet yang ditempati para makhluk buangan itu, Makhluk Planet Nibiru sudah dilempar ke atasnya dengan ingatan hilang.

Makhluk Planet Nibiru menyaru sebagai manusia. Ia lahir, tumbuh, sakit, makan, berak, jatuh cinta, menua, dengan sedikit memori mengenai misinya, serta secuil kerinduan mengenai planet asalnya. Sepanjang alur hidupnya, ia merasa bahwa Bumi bukan tempat lahirnya, melainkan Matahari. Ia juga merasa bahwa manusia bukan satu spesies dengannya, melainkan Merpati.

Hingga pada suatu titik, saat ia berumur dua sembilan menurut penanggalan Bumi, sendirian duduk di kursi peron stasiun kereta dalam kota, merenungi stofmap berisi tumpukan kertas berisi lirik-lirik lagunya, serta gitar tanpa merk-nya yang sudah tua.

Makhluk Planet Nibiru merasa dengan amunisi itu, ia bisa menyelamatkan manusia. Sebenarnya ia sendiri tak tahu, apa maksud kata-kata dalam kepalanya yang terus menyuruhnya untuk 'menjalankan misi menyelamatkan manusia'. Ia memang merasa bahwa manusia--termasuk dirinya saat ini--perlu diselamatkan entah dari apa (yang paling masuk akal adalah dari dirinya sendiri). Namun, ia hanya mampu menulis dan main gitar, mengutarakan gagasan-gagasannya untuk setidaknya, ada agak lebih banyak lagi orang lain di luar sana yang menyadari bahwa mereka harus mulai menyelamatkan dirinya sendiri mulai besok pagi.

Namun, ia merasa lelah dan lemah. Seakan sosoknya sebagai Merpati harus segera pulang ke sebuah tempat di dalam Matahari.

Ibunya sakit, cicilan rumahnya belum lunas, ayahnya kena tipu investor, adiknya dirundung kawan sekolahnya, orang yang ia taksir menikah dengan juragan bus wisata, dan lagu-lagunya kena kapak dari lapak bahkan sebelum sempat didengarkan oleh produser karena tak dianggap akan menjual.

Menjual. Menjual. Menjual....

Entah dari mana ia harus memulai misinya jika begitu banyak tembok telah mengepungnya sejak lahir. Apakah ia harus mati dulu supaya tembok itu buyar?

Saat memikirkan apakah ia harus mati dulu, pantatnya terasa gatal. Mungkin karena sudah terlalu lama duduk di kursi peron tanpa bertindak apa-apa. Maka, ia berdiri dan menggaruk pantatnya itu dengan jari-jarinya yang penuh kapal bekas main gitar nyaris selama setengah hari setiap harinya.

Sebenarnya ia sedang menunggu orang yang akan datang membeli gitar tuanya--ia menjualnya untuk sekadar menyambung hidup selama seminggu ketika gajinya di pabrik penyulingan sabun mandi baru akan dibayarkan seminggu lagi. Katanya, sang pembeli akan datang naik kereta terakhir.

Ketika ia menggaruk pantatnya dengan kekuatan penuh, sebuah kereta berhenti. Pintu membuka, dan seseorang yang memiliki sayap di punggungnya keluar dari dalamnya.

Ia memang manusia biasa. Namun, ada sayap di punggungnya. Itu saja. Si Makhluk Nibiru tak ambil pusing soal itu, sebab ia terbiasa menerima beberapa hal ajaib dalam hidup sebagai bagian dari hidup yang tak perlu dipertanyakan.

Manusia Bersayap menghampiri Makhluk Planet Nibiru dan menyalaminya, dijawab dengan jabat dari tangannya yang bekas menggaruk pantat. Rupanya orang itulah yang akan membeli gitarnya.

Ketika kedua tangan mereka bertautan, sebuah kilatan menyambar isi kepala Makhluk Planet Nibiru. Tiba-tiba ia ingat mengenai identitasnya yang sebenarnya di masa lalu sebelum jadi manusia.

"Sudah ingat?" tanya Manusia Bersayap sembari melepaskan salaman tangannya.

"Kalau aku memang Makhluk Nibiru, kenapa aku harus mengalami kepedihan sebagai manusia Bumi?" tanya Makhluk Planet Nibiru pada Si Manusia Bersayap.

Orang itu hanya menjawab dengan mengangkat bahu. Mungkin artinya, "mana gue tahu."

"Tahukah Anda, apa misi Anda dikirim ke Bumi?" tanya Manusia Bersayap kemudian, seperti membawakan acara kuis.

"Menyelamatkan Bumi," jawab Makhluk Planet Nibiru mantap.

"Apa yang akan Anda lakukan untuk menyelamatkan Bumi?"

Makhluk Planet Nibiru menjawab dengan mengangkat gitarnya. Ia--secara konyol--akan menyelamatkan Bumi dengan gitar tua itu.

"Saya akan beli itu," timpal Si Manusia Bersayap. "Dua puluh sembilan juta."

Si Makhluk Planet Nibiru terkesiap. "Itu jumlah yang terlalu besar buat gitar setua ini. Memangnya apa yang akan kau perbuat dengan gitar ini?" tanyanya.

Si Manusia Bersayap tertawa. "Menyelamatkan Bumi. Sama dengan Anda."

"Ah...."

Si Manusia Bersayap menyentuh leher gitar tua milik Makhluk Planet Nibiru. Matanya menatap gitar itu dengan lekat. Seperti menginspeksi penuh obsesi.

"Untuk menyelamatkan manusia, saya akan ubah gitar ini menjadi senjata," katanya pelan.

Mendengar perkataan itu, Makhluk Planet Nibiru menarik gitarnya jauh-jauh dari lawan bicaranya, menatap manusia bersayap itu dengan waspada. Helai sayap-sayapnya bergerak-gerak ketika ia mengangguk-angguk lalu tertawa ringan.

"Kalau begitu, saya akan cari gitar lain. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu. Selamat menyelamatkan Bumi. Good luck," kata Si Manusia Bersayap sembari berjalan mundur ke arah rel. Kemudian, ia pun melompat ke tengah rel. Sayapnya mengembang. Ia terbang. Hilang.

Makhluk Planet Nibiru yang kini tahu bahwa ia adalah makhluk yang berasal dari Planet Nibiru memandang Manusia Bersayap yang pulang tanpa menaiki kereta.

Ia termenung bersama gitar tua dan stofmapnya. Mengamini rentetan peristiwa barusan yang turut larut dalam pusaran waktu. Perlahan ia berjalan menyusuri lorong stasiun yang mulai sepi dan berhenti di depan kios makanan ringan. Seorang wanita tua menjaga kios itu. Tersenyum dengan ramahnya.

Ia membeli sebuah permen karet untuk menemani perjalanan pulangnya yang menurut firasatnya, akan sangat panjang dan melelahkan.

Di luar stasiun, malam telah menjelang. Musisi jalanan mulai bermunculan, bercokol pada warung pecel lele, warung angkringan, dan pintu-pintu bus kota. Namun, Si Makhluk Planet Nibiru bisa melihat bahwa kini yang mereka sandang bukanlah gitar, melainkan senjata. Di dalam mobil-mobil yang berlalu lalang pun sama, mereka membawa senjata alih-alih ponsel atau koper. Di televisi pun sama, para musisi terkenal mengganti alat musiknya dengan senjata. Para penyiar berita mengganti mikrofonnya dengan senjata, para politisi dalam berita mengganti jasnya dengan senjata. Pekerja kantoran yang sedang bergegas pulang pun sama, mengganti laptop dan tasnya dengan senjata.

Si Makhluk Planet Nibiru menengadah menatap bulan yang bersinar redup di angkasa. Bias sinar matahari membawa perasaan sendu dalam dirinya. Besok penolakan dan penghinaan apa lagi yang akan ia terima karena ia kini jadi salah satu dari sedikit manusia yang tak mau menyandang senjata.

Namun, ia tetap berjalan menyusuri trotoar penuh lubang galian sembari menggelembungkan permen karetnya. Warna pink dari permen karet rasa stroberi itu menjadi kontras dengan warna malam yang muram.

Tantangan yang ia terima sebagai Makhluk Planet Nibiru yang menyaru sebagai manusia baru saja dimulai. Baginya yang kini telah menyadari arti keberadaannya, Bumi ini tak ubahnya kolam tanding Olimpiade berukuran raksasa berbentuk bulat dengan warna biru yang menyihir mata siapapun yang memandangnya.

Besok, di atas planet biru ini, ia bertekad akan kembali menyandang gitarnya. Berhadapan langsung dengan senjata-senjata.

Cerita dalam Secangkir TehWhere stories live. Discover now