Alien Hipokrit (2023)

34 8 0
                                    

Ketika masih kecil, aku pernah melihat piring terbang. 'UFO' kalau orang biasa bilang.

Peristiwa itu terjadi di malam dingin setelah hujan sepanjang siang, bertepatan dengan sahut-sahut suara memekik dari langgar. Aku berjalan pulang sendiri menyusuri setapak becek sambil sesekali menengok belakang. Rumah Budhe beserta sosoknya yang berjanji akan "terus ngelihatin sampai aku tiba di rumah" sudah benar-benar tak terlihat. Kini aku sudah benar-benar sendirian.

Rumahku hanya tinggal beberapa langkah lagi, tetapi aku sudah merasa begitu takut oleh karena gelapnya suasana, sampai-sampai mau mengompol. Dan ketika aku memasuki halaman penuh semak perdu dan bebungaan yang jadi hobi baru Ibuk, aku melihat-'nya'. Muncul tiba-tiba seperti memadat dari udara. Awalnya berupa tiga pendaran cahaya bulat-bulat yang akhirnya bertransformasi menjadi semacam segitiga, yang di atasnya bercokol kubah setengah lingkaran. Meski saat itu sudah malam dan aku masih berumur dua belas, pemandangan magis itu masih dapat kuingat dengan jelas.

UFO itu melayang tepat di atas atap rumahku. Kakiku tak bergerak, bukan karena takut atau apa, tapi memang karena ingin menatap benda itu lama-lama. Secara ajaib, aku yang secara alamiah adalah penakut sejak lahir, kini justru merasa biasa-biasa saja, bahkan cenderung mengagumi apa yang sedang kulihat. Bulatan-bulatan itu bersinar putih bersih. Tidak seperti sinar dari sumber cahaya manapun yang pernah kulihat di planet ini.

Namun, keberadaannya tak bertahan lama. Begitu cepat benda itu menghilang. Caranya hilang pun mirip dengan caranya datang. Kali ini, ia menyublim cepat bagai kapur barus.

Aku tak menceritakan pengalamanku itu kepada orang lain--bahkan kepada kedua orang tuaku--selama berhari-hari berikutnya. Aku menganggap bahwa keistimewaanku bisa melihat langsung sosok UFO itu hanya aku yang berhak menyimpannya. Rahasia itu bahkan bertahan sampai beberapa saat yang lalu, sebelum aku menceritakannya padamu.

Ah. Mungkin 'orang itu' adalah pengecualian.

'Dia' mungkin tak ingat aku pernah bercerita soal UFO itu padanya, tapi aku ingat bahwa aku pernah bercerita. Sebab keesokan hari setelah peristiwa UFO di atap rumah itu terjadi, aku mengalami cinta pertama. Tentu saja pada dirinya.

Dia adalah seorang guru baru yang mengajar kelas dua yang baru hari itu datang bekerja. Masih sangat muda--katanya baru bulan lalu lulus IKIP PGRI. Pemuda dengan wajah bersudut kokoh, hidung panjang dan rambut ikal.

Kalau dipikir-pikir sekarang, wajah orang itu termasuk biasa-biasa saja (meski saat ini aku tak lagi ingat seratus persen bagaimana rupa wajahnya itu). Namun bagiku yang waktu itu masih berusia dua belas, badannya yang tinggi, punggungnya yang lebar, serta kemeja birunya yang selalu tersetrika rapi selalu membuatku penasaran. Ingin memperhatikannya saja lebih lama ketika ia berbaris di antara guru-guru lainnya setiap upacara bendera.

Setiap lewat di depan kelas ampuannya, aku selalu melirik melalui pintu kelas yang terbuka. Dan ia selalu duduk di mejanya yang berada di sudut ruang, sedang menunduk mengerjakan apapun di sebelah vas bunga origami, dengan cahaya matahari yang rembes ke dalam dari jendela terbuka tepat di samping meja kerjanya. Lekuk wajahnya yang terkena sorot cahaya tampak begitu menarik di mataku yang masih bocah. Saat itu kukira karena sosoknya kunilai agak mirip dengan karakter serial kartun TPI yang tayang tiap Minggu sore.

Kedatangannya ke sekolah pada keesokan hari setelah peristiwa UFO itu serta bagaimana ia terlihat berbeda dari orang lain di mataku membuatku percaya bahwa ia adalah alien yang menaiki UFO di atas rumahku kemarin, sengaja datang untuk menengokku. Memang pikiran yang lucu dan aneh kalau dipikir-pikir. Namun, itulah isi kepala anak kecil yang baru mengenal 'cinta'.

Suatu ketika, beberapa bulan kemudian, sekolahku mengadakan kegiatan Persami. Pak Guru yang kukagumi datang merangkap pembina pramuka, membantu reguku untuk membuat tenda. Ia mungkin tertarik karena melihatku yang dengan susah payah memukuli pasak bambu dengan palu dengan tangan kecilku.

Cerita dalam Secangkir TehWhere stories live. Discover now