Parade (2014)

691 54 5
                                    

Saat ini aku tidak terlalu takut. Setidaknya tidak seperti pada saat Para Pendukung datang memporak-porandakan sirkus dan membuat kabur gajah-gajah serta singa-singa kami. Ataupun saat mereka memisahkanku dari rombongan sehingga aku tidak dapat kembali ke sirkus selama beberapa saat lamanya.

Berjalan terburu-buru menyeberangi hutan tengah malam seperti ini mungkin bagi sebagian orang adalah sebuah horor kuadrat. Tapi tidak buatku. Saat ini aku tidak terlalu takut. Ada bulan yang menerangi setapak jalanku, ada keriuhan hasil gesekan anak-anak dedaunan yang menjadi teman seperjalananku, serta ada harapan yang dipantulkan dari semburat kebiruan di ujung hutan sana...

Aku mencincing celana panjang kedodoran yang kupakai hingga menyentuh tanah. Biasanya ujung celana ini kumasukkan ke dalam sepatu bot sehingga tidak mengganggu. Namun sepatu botku sudah hilang entah ke mana sejak diseret ke Kementerian dahulu. Rambutku kusam. Warna kekuningannya menjadi nyaris cokelat. Tanpa kusadari, panjangnya sudah di bawah tengkuk. Itu artinya paling tidak aku berada di Kementerian selama sebulan sampai dua bulan lamanya.

"Kebiasaanmu berpakaian seperti laki-laki itu membuatmu tampak agak menyedihkan. Kau seharusnya tahu, kalau kau itu sebenarnya cantik," kata Pemimpin di depan kurunganku di Kementerian, hari itu. Aku sama sekali tidak menyahut. Sebal sekali melihat muka dia dan ingin kupukul saat itu juga.

"Hm? Kenapa memandangku seperti itu? Apakah kau sedang sebal padaku dan berpikir untuk memukulku saat ini juga?"

Sialnya, dia tahu apa yang kupikirkan. Memang seperti itu. Ia tahu semua hal yang dipikirkan semua orang.

Kenapa hanya aku yang kau sekap? Tanyaku beberapa saat kemudian saat Pemimpin tidak juga beranjak dari tempatnya, masih memandangku tajam dengan duduk bersilang kaki.

"Karena kau istimewa," jawabnya singkat. Semakin ingin kupukul wajah manekennya. Tai kambing.

Kalau hanya aku yang istimewa, lantas mengapa kau sampai harus menghancurkan sirkus? Tidak cukupkah membawa aku saja lalu segera tembak kepalaku, dan... Dor! Selesai. Gampang, kan? Tidak perlu buang tenaga membuka kandang gajah segala...

"Begitu?" kata Pemimpin singkat, sambil memiringkan kepalanya. Melihat butir matanya yang hitam pekat, aku teringat sebuah peraturan yang ditetapkan olehnya hanya sehari setelah ia dilantik menjadi Presiden Dunia. Peraturan yang membuatku sakit perut karena tertawa terpingkal-pingkal setelah mendengarnya.

Pasal I: Segala bentuk bola basket di dunia ini harus dikempiskan. Jika Anda ketahuan memainkan bola basket yang masih berbentuk bulat sempurna, Para Pendukung akan dengan senang hati menjemput Anda.

Aku sama sekali tidak mengerti maksud dari tindakannya untuk meniadakan permainan basket. Tidak, bukannya meniadakan, hanya memerintahkan untuk mengeluarkan semua angin dari dalam bola basket manapun di dunia ini. Membuat mereka kempis, itu saja. Tidak lebih. Aneh, bukan? Ya, ya, aneh sekali. Tapi jelas aku dilarang mengatakan pendapatku ini keras-keras karena kalau tidak, hukuman dari Para Pendukung jelas akan membuat kepalaku cerai dari lehernya dengan segera.

Agaknya ia punya trauma tersendiri dengan bola basket. Tapi peduli amat.

***

Dunia ini adalah dunia yang sesungguhnya, tidak ada yang dapat membantah. Aku tahu itu. Kami tahu itu. Sebuah dunia yang kata orang-orang ideal dan merupakan tanah impian. Dipimpin oleh satu orang saja. Tidak ada pembagian dalam hal apapun di dalam masyarakat. Apakah dunia ini sama dengan dunia kalian? Entah sekarang sudah begitu atau suatu saat akan sama, aku tidak ambil pusing. Karena sang Pemimpin bisa hadir kapan saja ia berkenan.

Jika Bung Besar dalam novel 1984-nya George Orwell tidak sempat menyuruh orang sedunia untuk mengempiskan bola basket, maka Pemimpin sempat. Ia tidak perlu teleskrin dan Polisi Pikiran untuk menjadi seorang penguasa tunggal. Ia hanya butuh senyumnya ditayangkan televisi. Itu saja.

Cerita dalam Secangkir TehWhere stories live. Discover now