23. Batas komunikasi

17 7 15
                                    

"Sebenarnya aku juga muak jika harus deluan yang menghubunginya, namun jika tak begitu aku tidak dapat untuk berkomunikasi dengannya, ckk kenapa sih aku harus menggunakan akun fake ini, padahal aku punya akun pribadi tetapi hanya saja aku tak berani," monolog Pelangi menatap sudut sudut kamar belajarnya yang penuh dengan kata kata.

"Hahaha," dirinya tertawa kecil sendiri menikmati kegilaan ini.

"Andai dahulu aku tidak langsung menaruh rasa padamu mungkin saja aku tidak sesakit ini mencintaimu, Fuck!"

***

"Semua yang ada di dunia ini hanyalah fatamorgana semuanya tampak baik, namun pada dasarnya semuanya menyakiti. Kamu hanya punya dirimu sendiri jangan berharap lebih," Arvio mengambil gitar yang ada di ruangan musik, ia memetik sinar sebagai bentuk intro.

Arvio hanya memainkan gitar itu sembarang saja sebagai bentuk pelampiasannya terhadap semua yang terjadi.

"Ehh bentar itukan tas Arvio," Pelangi melihat tas itu namun tidak orangnya, Arvio dimana ya? Kok dia ga terlihat oh atau," Pelangi tak melanjutkan perkataannya ia mencampakkan tasnya dari depan pintu, lalu berlari ke ruangan musik.

Pelangi melihat Arvio berada di dalam sedang bermain gitar, matanya berkaca kaca mau menangis, Pelangi berjalan mendekati Arvio.

"Kamu butuh tisu," Pelangi menjulurkan tisu itu tepat dihadapan wajah Arvio.

"Buat apa Pel, ini tisu?" Arvio memberhentikan tangannya memetik sinar gitar.

"Buat kamu Ar, udah ga perlu nahan air mata kamu buat jatuh, kalau mau nangismah nangis aja ga usah di tahan kali Ar," celetuk Pelangi yang juga duduk dekat Arvio.

"Makasih ya, lo tumben perhatian ke gw, atau lo suka ke gw?" ejek Arvio menaik turunkan alisnya.

"Dih ga usah ke pdan lo, gw cuma ngasih lo tisu doang sekalian ngelihat tukang rundung di sekolah ini nangis," Pelangi langsung cepat cepat bangkit pergi karena ia sudah salah ngomong.

"Pel, kamu lucu kamu harus bisa aku miliki."

Dia tua asa (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang