Prolog

129 53 9
                                    

Menjadi anak sulung, seorang kakak, sebagai anak perempuan, rasanya seluruh beban dirasakan oleh bahu-bahunya yang kian melemas menahan berat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Menjadi anak sulung, seorang kakak, sebagai anak perempuan, rasanya seluruh beban dirasakan oleh bahu-bahunya yang kian melemas menahan berat. Setiap hari ia berpikiran seperti apa hari besok, masalah apa lagi yang akan dilaluinya, orang-orang seperti apa lagi yang akan dijumpainya.

Shireena Maudia, perannya sebagai anak sulung membawanya bertemu dengan Arkan. Menjumpai sosok yang begitu semu untuk ia baca pemikirannya, Shireena si sulung yang menyukai Arkan si anak tunggal.

"Lo baik-baik aja 'kan, Ar?"

Tak ada sahutan dari laki-laki yang wajahnya tertutup oleh tudung dari hoodie biru malam yang dikenakannya.

"Arkan, kenapa?"

"Sakit, Ren."

Shireena maju, ia berbalik sebentar untuk menutup pintu rumah dengan pelan. Setelah itu, menarik pelan bagian samping hoodie Arkan untuk mengikutinya ke depan pagar rumah. Ditariknya tudung yang menutupi setengah muka laki-laki itu, Arkan sontak memejamkan matanya menghalau silau, dengan ringisan menahan perih akibat luka di keningnya.

"Kenapa lagi, Ar?" Shireena menatap mata Arkan, laki-laki itu tak mau membalas tatapannya.

Arkan menepis tangan Shireena yang hampir memegang keningnya. Ia mengambil langkah mundur.

"Ayo kita pergi."

Shireena menghela napas, lalu menggeleng, ia bersitatap dengan Arkan, memandangi laki-laki yang semakin hari tatapanya terlihat menyanyu kehilangan semangat.

"Ayo bertahan sekali lagi. Itu yang harusnya lo ucapin," kata Shireena.

Terdengar kekehan dari Arkan, ia melengos, mendongak menatap langit malam yang bertaburan bintang.

"Mau sampai kapan lo bertahan? Orang-orang nggak pernah peduliin kita."

Shireena menggeleng, ia menunduk, kembali menahan tangis. Arkan mendengus, tangannya mengepal dengan perasaan tak nyaman yang dirasakan.

"Lo bisa nangis di hadapan gue, jangan ditahan."

Salwa menggeleng, kian menunduk, mengangkat kedua tangannya untuk menutup wajah yang mulai basah. Bahunya bergetar, kepalanya berdenyut sakit sebab menahan isakan tangis.

Arkan kembali berkata, "Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik aja. Masih ada hari besok."

Memandangi Salwa yang kini berjongkok, menutup kedua tangannya di antara satuan tangan yang ia tumpukkan di lutut yang ditekuknya. Kepalan di tangan Arkan kian mengerat, kembali ia membuang muka.

Kelabu dari Arkan [ HIATUS ]Where stories live. Discover now