🎼 11. Perkara Hujan

2K 93 1
                                    

11
.
.
.
🎼🎼🎼

Sudah beberapa kali Rona menghubungi Radit, tapi abangnya itu tidak menerima panggilannya. Rona kesal, sudah setengah jam dia menunggu di halte bus lagi.

"Kebiasaan," gerutu Rona menutup panggilan yang tidak dijawab. Radit terbiasa memode heningkan handphonenya, jadi setiap ada panggilan mungkin tidak terasa.

Kalau begini terus Rona bisa lapuk menunggu Radit. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya Rona memutuskan untuk memesan taksi online saja. Tidak ada waktu untuk menunggu Abangnya mengangkat telepon darinya.

Hujan masih turun, sepatu Rona juga lembab terkena cipratan air. Meskipun tidak selebat tadi, tapi hujan ini masih tergolong besar. Rona merapatkan kardigan yang dia pakai pada tubuhnya agar tidak kedinginan.

Setelah memesan taksi, Rona menunggu sepuluh menit lamanya. Taksi itu datang lebih cepat dari perkiraan. Syukurlah, dia tidak perlu menunggu lebih lama.

Akhirnya Rona tiba rumah yang dia tuju. Tempat tinggal Elvis. Rona turun dari taksi, dia tidak memakai payung, tapi untunglah hujannya sudah mereda meninggalkan gerimis tipis saja.

Rumah ini tidak di gerbang, ukurannya tergolong kecil dan minimalis. Setelah menekan bel, Rona Munggu pintu dibukakan, harap cemas dia menunggu di depan pintu.

Tak lama, seorang wanita paruh baya dengan celemek di tubuhnya serta kain lap yang terlampir di pundaknya, daster berwarna merah menyala pun tak luput dari perhatian Rona.

"Oh, temennya Den Elvis ya?" Tanyanya langsung ketika melihat seragam yang Rona pakai. Bibirnya melengkung menimbulkan senyuman.

"Em, iya Bu, Elvisnya ada?" Senang dengan respons perempuan di hadapannya ini

Ibu itu tersenyum, "Panggil Bi Pia saja, saya pembuatnya Den Elvis. Den Elvis belum pulang sekolah, mungkin kalau jam-jam segini dia lagi di studionya," jawabnya.

Elvis sekolah? Bukannya dia tidak sekolah ya? Oke mungkin dia memang berangkat sekolah dari rumah, tapi anak itu tidak melanjutkan perjalanan menuju sekolah dan memilih menyimpang ke tempat lain?

Niatnya Rona ingin mengutarakan fatka kalau Elvis tidak masuk sekolah, tapi itu bukan urusannya.

"Sebentar ya Bibi tulis alamat studionya."

"Iya Bi," jawabnya.

Setelah mendapatkan alamat atudio Elvis, cepat-cepat Rona kembali menunggu taksi, sembari menunggu taksi datang, dia juga menerima teh yang di sajikan Bi Pia lengkap dengan kue keringnya.

BI Pia cukup santai, dia menemani Rona berbicara di teras. Karena pekerjaannya sudah selesai juga, jadi dia punya waktu luang kayanya. Sikap santainya membuat Rona yakin Bi Pia mendapatkan perlakuan baik dari tuan rumah.

"Jarang-jarang loh, Den Elvis punya temen, apalagi perempuan. Biasanya yang datang ke sini cuma dua laki-laki yang udah lengket banget sama dia. Yang satu badannya gede putih, yang atu lagi orang Papua. Kadang mereka main ke sini kalau libur, biasa anak muda sering nongkrong-nongkrong," ucap Bi Pia. Rona mengangguk saja, dia sama sekali tidak berminat tahu tentang Elvis.

Tak terasa, lama mengobrol dan menikmati teh ditemqni bi Pia, taksi pun akhirnya datang. Rona berpamitan dan masuk ke dalam taksi untuk berangkat ke alamat yang diberikan Bi Pia padanya.

Yang awalnya Rona pikirkan tentang studio adalah tempat bagus, penuh dengan ornamen khas musik ataupun seni. Tapi, yang Rona dapati justru hanya sebuah ruko yang nampak kosong di luar.

"Ini tempatnya pak? Bapak yakin?" Tanya Rona pada sopir taksi.

Bapak itu mengangguk yakin, "Benar kok, ini alamatnya," jawabnya sambil mengecek kembali alamat dari secarik kertas. "Aduh, neng bapak gak ada payung. Hujan nya gede lagi."

Rona mengedarkan pandangannya, hujan kembali turun dengan derasnya, padahal ini masih sore, tapi awan begitu gelap.

"Gak apa-apa Pak, bapak tunggu di sini sebentar, nanti saya balik lagi kok," ucapnya, Rona tidak mau menunggu taksi lagi seperti yang dia lakukan di rumah Elvis tadi. Rona melirik ke spion tengah mobil, kerutan di dahi sopir tanda ia sedang berpikir.

"Aduh, maaf neng. Saya sudah terima pesanan, saya cuma mengantar Neng ke sini aja soalnya sudah Nerima pesanan lagi." Sopir itu merasa tidak enak.

"Yaudah gak apa-apa Pak. Kalau gitu saya turun."

Rona merapatkan kardigan, melepaskan dan menghalau hujan deras sebisa mungkin dengan tasnya. Ya, meskipun masih tetap basah, setidaknya tidak kuyup.

"Permisi."

"Woy, siapa tuh yang manggil-manggil?" Dengan pakaian seragamnya Alfa tiduran di sofa, tidak ada niatan sama sekali untuk melangkahkan kakinya membuka pintu.

"Beto bukain sana," titah Alfa.

"Tidak ah, Alfa saja. Atau Elvis saja."

"Elvis, lagi boker. Lo aja sana."

Mau tak mau, Beto melangkah untuk menemui tamu yang barusan bilang permisi. Pintu ruko ini ada di belakang, di bagian depan hanya terdapat pintu garasi.

Dengan wajah kecut, Beto berjalan lemas menyambut tamu yang datang. Namun, wajah kusutnya itu berubah sumringah saat melihat gadis yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini. Beto seperti mendapatkan sebuah hadiah.

"Eh, Gadis manis," gumamnya. Rona yang mendengar itu menyernyit.

"Elvis … ada?"

"Oh ada, cari Elvis toh. Kirain cari Sa. Tunggu Sa panggil dulu. Masuk dulu, hujannya besar betul, nanti sakit," tawarnya.

Awalnya Rona menolak, namun karena hujannya semakin besar dan keras tuko ini begitu sempit, mau tak mau Rona harus ikut ke belakang ruko di mana dia lebih aman. Rona tidak masuk ruangan, dia hanya berdiri di ambang pintu yang terbuka sebagian.

Kalau tahu hujannya akan terus deras begini dan sopir taksi tadi tidak bisa menunggunya, kenapa Rona tidak titipkan saja ke pembantu Elvis di rumah tadi? Niatnya Rona ingin mengembalikannya ke Elvis langsung sebagai tanda ucapan terima kasih, tapi kalau begini ribetnya sampai harus pesan taksi dua kali, Rona jadi menyesal tidak menitipkannya saja.

"Siapa?" Pintu terbuka lebar, Rona sempat melihat alat musik yang berantakan di dalamnya. "Oh, silakan masuk," ajaknya. Tak lupa kedua sudut bibir kemerahan itu melebar. Dia masih mengenakan seragam sekolah. Udah yakin deh, Trio wek-wek ini bolos sekolah cuma gara-gara hujan.

Tentu saja Rona menolak, dia tidak mau masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya hanya ada keturunan nabi Adam AS.

"Tidak usah, ini." Rona mengeluarkan sapu tangan itu dan memberikannya kepada Elvis. Bukannya menerima, Elvis malah melirik sekilas ke tangan pucat Rona.

"Sama siapa ke sini? Tahu dari mana tempat ini. Masuk dulu aja, di sini dingin" Elvis kembali menggeser tubuhnya agar Rona bisa masuk dengan leluasa.

Rona menggelengkan kepalanya, belum sempat dia menolak, kilat dari langit membuat mata keduanya pening, suara guntur yang menggelegar menggetarkan kaca-kaca jendela membuat Elvis refleks menarik tangan Rona hingga keduanya masuk ke dalam studio.

Mendadak seluruh ruangan diselimuti gelap.

"Alah, pake mati lampu segala lagi."

🎼🎼🎼

Note: Minta maaf Jum'at kemarin gak update 😥

Love In Music (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang