Bab 22. Mulai Berani

1.4K 223 108
                                    

                "Ganteng banget!"

Untuk pertama kalinya, aku tidak malu mengakui betapa tampan Pak Rafiq di foto yang Raya kirim padaku. Ternyata anak itu diam-diam mengambil foto Pak Rafiq saat mengikuti seminar proposalku beberapa hari yang lalu.

Di foto itu, Pak Rafiq tampak serius menatap depan. Harusnya tatapan itu ditujukan padaku. Ada seulas senyum di bibirnya meski agak samar.

"Aduh, mulai lagi!" aku memegangi dadaku yang lagi-lagi berdetak sangat cepat. "Nin, sadar, Nin. Dari sekian banyak laki-laki di dunia ini kenapa harus menyukai dosenmu sendiri? Kalian beda kasta."

Entah sudah berapa sering aku menyadarkan diri seperti ini. Aku harus selalu ingat kalau aku dan Pak Rafiq berbeda. Anggap saja perasaanku ini hanya sebatas rasa kagum sesaat karena dia sering baik padaku.

Ya, hanya sekadar itu.

"Woy, Anin! Malah ngelamun!" aku berjengit kaget ketika tiba-tiba Fikri datang menepuk pundakku.

"Aduh, Fik! Kamu ngangetin aja!"

Dia terkekeh, lalu duduk di sebelahku. "Eh, lagi lihatin foto siapa, itu?"

"Hah?" Aku refleks memasukkan ponselku ke dalam tas. "B-ukan, bukan siapa-saiapa."

"Gebetan baru, Nin?"

"Enggak!" Aku menggeleng keras. "Beneran bukan siapa-siapa. Btw, kamu ke kampus ada kuliah?"

"Iya. Masih siang, sih. Ini berangkat pagi karena ada bimbingan. Doanya, ya, hari ini aku mau daftar seminar."

"Wow! Selamat, ya!"

"Enggak mau kalah sama kamu soalnya, Nin."

Aku tertawa. "Semangat-semangat!"

"Kamu sendiri ke kampus ada bimbingan?"

"Enggak. Bimbinganku masih besok. Hari ini harusnya kuliah jam tujuh, tapi Pak Abim tiba-tiba ngabarin kalau enggak bisa berangkat. Jadi ya kosong."

"Udah sarapan?"

"Belum. Soalnya tadi buru-buru."

"Ya udah, ayo sarapan!"

"Katanya bimbingan?"

"Masih jam sembilan. Ini jam delapan aja belum ada."

"Ya udah, ayo."

"Naik motorku aja, ya, Nin!" Fikri menawarkan.

"Kita kena gosip pacaran lagi, nanti!"

"Enggak papa. Aku udah bodoamat."

"Sama, sih. Ya udah, ayo."

Aku dan Fikri segera menuju parkiran fakultas. Aku mengambil helm-ku dan bergegas menghampirinya.

"Ihirrr! Makin terang-terangan, ya, sekarang!" tiba-tiba terdengar sebuah celetukan. Ternyata Nida dan Usi.

"Go public apa gimana, Nin?"

"Iya. Go public. Puas, kalian?"

Nida dan Usi saling pandang, lalu mereka memotretku dan Fikri secara terang-terangan. "Kami siap menyebar berita heboh di grup angkatan. Akhirnya, Anin dan Fikri officially taken."

"Headline-nya yang bagus, jangan gitu doang. Biar makin booming beritanya," kelakar Fikri yang membuatku tertawa.

"Bener! Jangan setengah-setengah." Aku menambahi.

"Siap!" Nida dan Usi menjawab kompak. Memang mereka ini biang gosip!

Aku dan Fikri bisa sesantai ini karena kami sudah digosipkan pacaran sejak maba, tetapi gosipnya naik turun tergantung mood teman-teman. Kami terkena gosip karena sering terlibat bersama mengurus ini-itu. Bisa dibilang, sejak maba kami berdua adalah tangan kanan Bu Dika.

Inevitable Feelings Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang