Bab 31. O'ow

1.4K 176 92
                                    

                "B-bunda? Sejak kapan di situ?"

Bunda masuk membawakan satu botol air putih. Beliau Meletakkannya di atas nakas, lalu duduk di ranjang.

"Sejak kamu guling-guling kaya anak kecil tantrum."

Ini sungguh gawat! Gawat sekali.

Aku tidak pernah membayangkan Bunda akan memergokiku seperti ini. Aku tidak mungkin bohong, tetapi kalau jujur aku juga belum siap.

"Siapa Mas Afiq, Nin?" tanya Bunda dengan nada suara yang direndahkan.

Aku menunduk, bingung.

"Nin?"

"Cuma teman, Bund," balasku akhirnya. Iya, teman. Teman diskusi.

"Teman apa yang bikin salting gitu?"

"Emang enggak boleh salting sama teman, ya, Bund? Aku kan juga cewek normal. Bunda harusnya bersyukur aku masih suka cowok. Masih lurus artinya." Aku nyengir. Jujur, ini hanya jawaban spontan yang entah akan berujung bagaimana.

"Kalau bisa jangan ada pacaran, Nin. Langsung nikah aja. Itu juga kalau dia udah minta kamu baik-baik ke Ayah sama Bunda."

"Tapi kalau langsung nikah tanpa kenal dulu ya enggak mau, Bunda. Seumur hidup itu lama. Minimal tahulah karakter dasar."

Sebetulnya Pak Rafiq sangat memenuhi kriteria Bunda. Beliau bilang jangan pacaran dan langsung nikah saja asal sudah minta baik-baik ke beliau dan Ayah. Itu kan Pak Rafiq sekali!

Sudah kubilang berulang kali, Pak Rafiq memacariku hanya status saja. Dia aslinya ingin yang lebih. Sayangnya, kondisi memang belum memungkinkan.

"Itu betul, Nin. Tapi tahu karakter dasar enggak harus dengan pacaran, kan?"

"Kalau pacarannya hanya status?"

Mata Bunda langsung menyipit. "Beneran punya pacar, kamu?"

"E-enggak, kok."

Enggak salah. Aku membatin dalam hati.

Aku tahu ini tidak boleh. Tak seharusnya aku berbohong. Tapi serius, aku hanya belum siap Bunda tahu yang sebenarnya.

"Kamu masih muda. Inginnya Bunda, kamu jangan buru-buru nikah. Tapi kalau emang udah nemu yang pas, segera minta dia temui Ayah sama Bunda seperti yang barusan Bunda bilang. Tunjukin ke kami kalau dia serius. Jangan mau kalau cuma dipacarin."

"Siap, Bund."

"Beneran udah ada, berarti?"

Kali ini aku langsung mengangguk. "Iya. Ada laki-laki yang aku sukai."

"Seberapa suka?" Bunda tersenyum.

"Besar."

"Banget?"

"Kalau banget aku belum berani bilang iya, tapi yang jelas aku nyaman dan seneng kalau ada di dekat dia. Kaya ngerasa aman juga, Bund."

"Beda berapa tahun memangnya?"

Aduh! Yang satu ini Bunda jangan sampai tahu dulu.

"Intinya agak banyak. Aku kan anak tunggal, Bund. Dia itu kaya bisa ngemong. Soalnya pembawaannya dewasa."

Bukankah sosok yang dewasa sangat dibutuhkan untuk anak tunggal sepertiku? Aku tidak bisa membayangkan laki-laki lain selain Pak Rafiq. Ya, anggap saja itu bias karena memang aku sangat menyukainya.

"Apa yang kamu suka dari dia, Nin?"

"Banyak, Bund. Kapan-kapan kalau udah saatnya, Bunda kenalan sendiri. Dia pasti datang buat ketemu Bunda sama Ayah."

Inevitable Feelings Where stories live. Discover now