11

215 30 2
                                    

19.00 WIB
Selasa, 25 Mei 20XX

"Sesungguhnya, aku ingin menjadikanmu sebagai penutup. Tapi, korban ke empat, pun rasanya tak masalah."

Kalimat dari makhluk yang tadi siang menghampiri Elisa, kini terus terngiang di kepala gadis itu. Dia yang semula dibuat takut, sekarang justru jadi bingung dengan kalimat ambigu tersebut. Karena, seperti yang sudah Elisa ketahui, makhluk itu baru memakan dua korban. Jika Elisa adalah korban ke-empat, lantas, siapa yang ketiga?

Kerutan di dahi Elisa semakin menjadi. Jari-jari lentik gadis itu mengetuk beraturan meja kayu di depannya. Dia terus menjelajahi pikirannya, hingga ketukan dari pintu membuat Elisa terpaksa kembali ke realita. Elisa menoleh, melihat ibunya yang ternyata sudah membuka pintu dan tengah berdiri di sana.

"Ibu sudah memanggilmu berkali-kali." Ibunya Elisa berjalan mendekat. Dia melirik sekilas pada buku dengan kertas yang masih kosong di depan putri sulungnya itu. "Memangnya ada tugas apa, sih? Ayo makan malam dahulu, tugasnya dilanjut nanti saja."

Elisa menghela napas panjang. "Baik, Bu." Dia bangkit dari duduknya, lantas berjalan lebih dulu menuju dapur, ibunya mengikuti di belakang.

Begitu keluar dari kamar, Elisa melirik pada ayah dan adiknya yang tengah makan di ruang keluarga. Keduanya tampak fokus melihat acara anak-anak di televisi, sebelum akhirnya menoleh pada Elisa yang baru saja muncul.

"Ayo makan, Kak. Ada pepes ikan hasil tangkapan ayah tadi sore, masih segar, enak loh." Elrick--ayahnya Elisa--mengangkat piring nasinya, hendak menunjukkan lauk ikan pepes yang tadi dia maksud.

Elisa tersenyum kecil mendengar itu. Dia sangat menyukai ikan, apalagi jika baru ditangkap, rasanya akan lebih enak daripada yang dibeli di tukang sayur ataupun pasar.

"Iya, kak, sangat enak! Kalau tidak mau, buat Nana saja, ya!" Nana ikut bersuara dengan pipinya yang sedikit mengembung karena nasi yang dia makan. Beberapa butir nasi tampak menempel di pipinya yang mengembung itu.

Tatapan Elisa berpindah, dia menatap tajam adiknya itu. "Enak saja!" Elisa berujar ketus sebelum akhirnya berjalan menuju dapur, meninggalkan Nana yang justru tertawa girang karena sudah membuat dirinya kesal.

Setelah mengambil nasi beserta lauk, juga segelas air minum, Elisa langsung menuju kamarnya kembali, hendak melanjutkan apa yang tadi sempat tertunda--mencari tahu jawaban dari apa tengah dirinya alami.

Sesaat sebelum memasuki kamar, Elisa menoleh sekilas pada keluarganya yang tengah makan sembari menikmati acara televisi. "Aku makan di kamar, ya," pamit gadis itu yang mengundang tatapan dari ayah, ibu, serta adiknya.

"Memangnya kapan tugasmu itu dikumpulkan?" tanya Arisa seraya menyuap nasi ke dalam mulut.

"Kakak ada tugas apa?" Nana ikut mengajukan pertanyaan.

"Wah, rajinnya kakak, semangat, ya!" Berbeda dari anak dan putri bungsunya, Elrick justru lebih memilih untuk menyemangati Elisa.

Elisa tersenyum kecil mendengar itu. Dia beralih pada ibunya. "Besok. Tugasnya harus dikumpulkan besok." Elisa akhirnya memilih untuk berbohong. Karena, tidak mungkin, kan, Elisa berkata jujur jika dia tengah memikirkan makhluk aneh yang tadi siang datang hendak membunuhnya? Bisa-bisa kedua orang tuanya jadi panik, dan yang terburuk, bisa saja Elisa disuruh pindah ke kota, ikut tantenya yang bekerja di sana. Jelas Elisa tidak akan mau.

Arisa menghela napas berat. "Baiklah. Jangan tidur terlalu malam," pesan ibunya itu yang hanya dibalas anggukan kecil oleh Elisa.

"Memangnya kakak ada tugas apa?" Nana kembali bertanya, suaranya sedikit meninggi.

Elisa melirik pada adiknya itu. Bukannya menjawab, dia justru menjulurkan lidah, berniat membalas Nana yang tadi sudah berani menggodanya.

Nana yang kesal, tanpa aba-aba langsung melempar boneka kelinci miliknya ke arah Elisa. Namun, beruntungnya dapat Elisa hindari, membuat Nana jadi semakin kesal dibuatnya. "Kakak!" pekik Nana yang semakin kesal karena Elisa sudah berhasil melarikan diri, masuk ke dalam kamarnya.

Begitu pintu dikunci, wajah Elisa seketika langsung berubah serius. Dia meletakkan piring nasinya di atas meja, di sisi bagian pinggir. Sebelah tangannya meraih pulpen hitam, lantas membuat coretan di kertas kosong yang berada di depannya.

Korban dieksekusi setelah tiga hari

Kak Hana >> Sabtu, 22 Mei 20XX
22-3=19

Fala >> Senin, 24 Mei 20XX
24-3=21

Jarak eksekusi :
22 => 24 = 2 hari
Jarak menetapkan korban :
19 => 21 = 2 hari

Berarti
Jadwal eksekusi
22, 24, 26, 28
Jadwal menetapkan korban :
19, 21, 23, 25

Gerakan tangan Elisa seketika langsung terhenti. Dia menatap tak percaya dengan apa yang baru saja dia buat.

"Tapi, korban ke empat, pun rasanya tak masalah."

Kalimat itu lagi-lagi terngiang di kepala Elisa. "Jadi ... ini maksudnya." Elisa bergumam dengan tatapan kosong. Ternyata bukan korban yang akan dieksekusi, tapi korban yang hendak ditetapkan untuk dieksekusi tiga hari lagi.

Jika demikian, lantas ... siapa makhluk yang malam itu mendatanginya? Tubuh Elisa seketika langsung merinding.

Elisa menggelengkan kepala, mencoba menghalau ketakutan yang hendak muncul kembali. "Berarti dia baru saja hendak menetapkan korban. Berarti sudah ada korban yang ke tiga. Dan berarti ... korban ketiga akan dieksekusi besok." Elisa kembali terdiam. Kepalan tangannya mulai menguat. Dia menelan ludahnya kasar membayangkan seseorang yang akan menjadi korban selanjutnya.

"Siapa?" Elisa memegangi kepala, memaksa otaknya untuk mencari petunjuk mengenai seseorang yang mungkin menjadi korban selanjutnya. "Gadis perawan dengan wajah rupawan." Dia mengulangi kalimat yang tadi siang diucapkan oleh Lusi.

Elisa mulai meremas rambutnya begitu merasakan pusing mulai menjalar di kepala. "Argh!" Elisa menggeram kesal. Dia benar-benar tak memiliki petunjuk lebih mengenai ciri-ciri korban. Apalagi dengan sedikitnya informasi yang Elisa miliki. Semuanya jadi begitu sulit untuk dapat dipecahkan.

"Sial!" umpat Elisa dengan wajah kesal. Dia benar-benar tidak menyukai situasi ini.

"Apa yang harus kulakukan?" Elisa kembali mencoba untuk berpikir. Cukup lama terdiam, tiba-tiba kejadian tadi sore kembali muncul di kepalanya. "Mungkin aku bisa minta bantuan mereka?" gumam Elisa mengingat Nafita, Gia, dan Bayu yang tadi sempat mencoba menyelamatkan dirinya.

Elisa mengangguk mantap, yakin dengan rencana yang akan dia lakukan besok pagi--meminta bantuan pada tiga teman sekelasnya.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang