34

71 8 0
                                    

17.55 WIB
Sabtu, 28 Mei 20XX

"Pemimpin para siluman itu, apakah dia ... ayahnya Gia?" tanya Nafita ragu-ragu.

Niar, neneknya Lusi, hanya tersenyum kecil. Tak berniat membuka suara, tangan keriput wanita tua itu memilih untuk membereskan piring dan cangkir yang sudah kosong yang berada di tengah-tengah mereka.

"Lalu siapa yang menggantikan posisi itu, Nek?" Kali ini Kenya yang bertanya.

Tak seperti pertanyaan Nafita sebelumnya, kali ini pertanyaan Kenya mendapatkan sebuah jawaban. "Tidak ada." Niar menghentikan kegiatannya sejenak. Dia menatap sekilas Kenya. "Adanya posisi pemimpin para siluman, itu hanya untuk mengimbangi pemimpin manusia yang memimpin manusia dari tiga desa. Setelah manusia yang memimpin tiga desa kehilangan eksistensinya, maka pemimpin dari bangsa siluman juga demikian."

Elisa mengerutkan dahinya mendengar ucapan Niar barusan. Gadis itu tampaknya belum puas dengan penjelasan yang baru saja dia dapatkan. "Lalu, bagaimana dengan petunjuk-"

"Kakak!" Sebuah seruan kencang terdengar dari arah luar pagar. Seorang gadis kecil yang berada dalam gendongan sang ayah, melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.

Niar menepuk pelan pundak Elisa yang duduk tepat di sampingnya. "Pulanglah, Nak, ceritaku sudah selesai." Wanita tua itu turun dari tempat duduk, lantas berjalan pelan mendekati Nana dan Elrik yang tengah menunggu Elisa di dekat pagar bambu.

Elisa menatap kedua temannya yang kini tengah menyorot ayah dan adiknya. "Sepertinya aku harus pulang sekarang," kata Elisa dengan wajah pasrah.

Nafita buru-buru langsung mengalihkan pandanganya. "Ah, ya. Ayah dan adikmu sudah menunggu, El. Pulanglah!" Dia berucap cepat.

Kenya ikut menoleh pada Elisa. Dia tersenyum kecil. "Hati-hati di jalan, Elisa!"

Elisa ikut tersenyum. "Semoga rencananya berhasil!"

"Tentu, itu akan berhasil!" Nafita menyahut dengan penuh semangat.

Di sisi lain, Niar tampak tersenyum hangat sambil membukakan pintu pagar untuk kedua tamunya. "Lama tidak berjumpa, Elrik," sapa Niar pada pria di depannya yang kini tengah berjongkok, menurunkan gadis kecil yang tengah dia gendong.

Setelah berhasil membiarkan putri bungsunya terbebas, Elrik kembali bangkit berdiri. Dia tersenyum tipis memandang wanita tua di depannya. "Ya, sudah sangat lama," ucap Elrik dengan nada sopan.

Niar diam sejenak, lantas mengusung sebuah senyum misterius. "Omong-omong, sepertinya putri sulungmu itu akan memegang peran yang cukup besar."

Senyum Elrik seketika langsung lenyap. Sorot matanya berubah tajam. "Peran apa yang anda maksud?" Suaranya mulai berubah dingin.

Niar mendengkus geli. "Memangnya apa lagi," balas wanita tua itu dengan seringai kecil di wajahnya.

Kedua tangan Elrik seketika langsung mengepal. Tatapannya tampak semakin tajam. "Jangan pernah coba-coba melibatkan putri saya dengan semua kegilaan yang terjadi!" ancam pria itu dengan nada bicara yang terdengar semakin dingin.

Niar langsung tertawa begitu mendengar ucapan Elrik. "Mana mungkin aku membuat putri kesayanganmu itu terlibat." Dia berucap dengan wajah geli. "Bukan aku, tapi takdir lah yang memilihnya. Kau tidak bisa melawan takdir yang sudah ditetapkan, El."

Elrik terus melayangkan tatapan tajam ke arah Niar untuk beberapa detik, lantas melirik penampakan Elisa yang tengah tersenyum lebar sambil menyambut Nana ke dalam gendongannya. "Persetan dengan takdir sialan yang anda maksud, saya hanya akan melindungi keluarga saya!" pungkasnya yang kembali menyorot tajam ke arah Niar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang