dua rasa

9 3 0
                                    

Pagi ini kubuka mata penuh semangat. Membangun semangat menjalankan seluruh jurnal harian yang telah ku buat. Kutarik tubuhku menuju ujung kasur, mengikat rambut lalu tersenyum pada pantulan wajah melalui sebuah kaca yang letaknya tak jauh dariku.

Hari ini tidak ada kelas yang harus ku datangi. Jadi, untuk pagi ini ku putuskan maraton guna melemaskan otot-otot yang kaku, selain itu untuk mencegah terjadinya kejompoan pada tubuh yang masih muda.

Setelah bersiap-siap, kulakukan sedikit pemanasan, setelah dirasa cukup, mulai ku berlari kecil menuju taman yang sering dikunjungi oleh kaum muda-mudi dikala akhir pekan.

Setelah dirasa cukup jauh dan tubuhku mulai terasa letih, sengaja aku berhenti terlebih dahulu pada sebuah kursi. Mengelap peluh pada kening, ku tenggak sedikit air minum guna membasahi tenggorokan yang terasa mengering.

"Hai, bagaimana kemarin? apa Berlin berniat mencincang mu?"

Kontan aku menoleh, menengah pada pemilik suara yang terdengar begitu familiar. Kala netra-ku beradu pandang, benar saja fikirku. Ternyata itu adalah Amalia, wanita 25 tahun yang juga tengah maraton sepertiku.

Ia terkekeh, mendaratkan bokongnya pada kursi di sebelahku. Merampas minumanku dan menenggaknya hingga tandas tak bersisa. "Aneh." Amalia mengecap-ngecap lidahnya, meludah lalu mengembalikan botolku yang telah kosong.

Aku mengernyit. "Apanya?" tanyaku heran.

"Air minum kau terasa aneh." Amalia meludah-ludah seolah membuang sisa air minum yang masih melekat di mulutnya.

Lagi-lagi ku mengernyit. Menatapnya aneh, apanya yang aneh? Apa air putih terasa aneh? Bukankah air putih yang berada di rumahku dan juga rumahnya beradap dari depot yang sama? "Tidak bisakah kau tidak berbelit-belit?"

Amalia mengibaskan tangannya, berdiri lalu beranjak pergi mendahului ku. Aku menghela nafas panjang, sudah sangat terbiasa menghadapi sifat aneh dan tidak tau diuntungnya. Jika saja dia bukan temanku, akan kuhantam kue serabi coklatnya dengan tangkai cangkul. Tapi untungnya dia temanku dan aku juga wanita baik-baik, jadi tidak akan terjadi kekerasan diantara kita.

"Tunggu!" seruku seraya menyusul Amalia yang mulai mengecil menghilang dari pandangan.

Amalia berhenti sejenak lalu berbalik. Menyunggingkan senyuman seraya mengacungkan jari jempol terbalik, setelahnya ia berteriak, "Susul saja jika kau bisa."

Tenagaku seolah terpacu. Mengangguk pasti seraya memperbaiki kaus yang ku kenakan lalu berlari terbirit-birit mengejar Amalia.

Setelah seperempat jam berpacu, langkah Amalia terhenti di sebuah taman yang sering kami kunjungi ketika maraton bersama. Mendudukkan tubuh pada sebuah kursi, Amalia menatapku remeh, mengusap ujung hidungnya dengan jempol seraya menyengir kuda.

"Lemah. Mengejarku saja kau tidak sanggup, apalagi mengejar
jin bodoh itu." Sentil Amalia tatkala aku telah mendaratkan bokong disebelahnya. "sudah buruk rupa, bodoh, mati, itupun masih kau pertahankan? Dasar bodoh. Saranku kau kejar saja si Anti itu."  Imbuhnya lagi.

Aku mendelik malas. Beginilah jika aku memberi tahu lelaki yang tengah dekat denganku. Jika Amalia setuju, hidupku akan berjalan lancar. Tapi jika ia tidak setuju, habis-habisan aku dihantam dengan berbagai cacian-makian olehnya.

Omong-omong soal Anti atau yang bernama panggilan Ander itu satu angkatan denganku dengan jurusan yang sama. Lalu, kenapa dipanggil Anti sedangkan ia laki-laki?

Begini, Anti berarti ( Ander boti). Meski namanya terdengar sangat manly, namun pada kenyataannya boti alias banci. Setiap harinya selalu memakai high heels 9 cm, keahlian berdandan jauh lebih baik dariku, tasnya dipenuhi oleh make-up dan skincare, dan yang lebih parahnya pacarnya segender dengannya. Huh, aku tak mampu berkata-kata melihat betapa mengerikannya zaman sekarang.

"Tidak usah, ambil saja untuk kau. Aku fikir kau cocok dengannya. Anti keperempuanan sedangkan kau kelaki-lakian." Ejekku. Sebentar kemudian aku terkekeh geli melihat Amalia yang mengangguk-angguk seraya menekan pipi dalamnya dengan lidah.

"Untukku ya? Jadi untuk kau apa?" Amalia senyam-senyum aneh.

Firasatku memburuk, gelakku seketika memupus, perlahan kucoba sedikit menjauh. Menatapnya penuh was-was, mataku melihat padanya, meneliti rencana busuk apa yang tersimpan di balik punggungnya.

Lalu mataku memindai sekeliling, mencari senjata yang bisa digunakan untuk mengancam Amalia. Mataku terpaku pada sepatu yang ku kenakan. Kontan ku buka sepatu dan mengarahkannya pada hidung Amalia.

"Jangan mendekat, jika kau mendekat satu inci lagi, aku pastikan kau pulang tidak bernyawa."

Amalia nampak gentar. Tangannya mengibas-ngibas mulutnya seraya mengeluarkan suara dan isi perutnya. "Astaga, sudah berapa lama tidak kau cuci sepatu kau, hah?!" sesaat setelahnya kembali ia memuntahkan isi perutnya.

Aku tertawa terbahak-bahak, tangan kananku memeganginya perut yang kram, bahkan air mataku menggenang melihat ekspresinya yang tampak sangat tersiksa.

"Siapa suruh men--"

Tangan kiri Amalia yang sebelumnya berada pada ketiak telah membelai hidung dan bibirku dengan kebajingan dan pedihnya bau ketiak. Perutku terasa memilin, rasa-rasanya semua isi perutku mendesak keluar.

"AMALIAAAAAA."

                             ~o0o~

Jam telah menunjukkan pukul 12 siang, pada jam-jam suntuk ini biasanya ku isi dengan berselancar di sosial media. Memantau postingan Instagram idolaku, tak lupa memberi boom like pada Instastory-nya.

Kakiku bergoyang-goyang, bibirku tak henti-hentinya menenum senyuman, mataku tak mampu mengalihkan perhatian, tanganku pun tak mau tergerak keluar dari Instastory-nya.

Perhatianku seolah terkunci pada susunan kotak-kotak pada perutnya dan kekencangan ototnya yang diabadikan dalam bentuk foto bersama dengan lagu    White Walls - Macklemore. Benar-benar memperhatikan sekali estetika dalam hidupnya.

Setelah dirasa cukup memandangi roti sobek, ku paksa tanganku bergerak keluar dari Instastory-nya. Dan sialnya setelah berhasil keluar dari  Instastory-nya, aku kembali dihadapkan dengan postingan terbarunya.

Terdapat 4 foto dalam postingan barunya, pada slide pertama netra-ku langsung kembali menangkap kotak-kotak dan kekarnya otot. Tentunya aku sangat menyukai foto-foto yang mengandung roti sobek dan berwajah tampan. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, kucoba mengirimi pesan singkat bertuliskan, Mi amor. Selesai dengan kegiatan menghafal,  kembali ku geser slide kedua. Dan...

Ternyata pada slide kedua, netra-ku dihantam dengan foto idolaku dengan wanita yang kecantikannya jauh diatasku. Berpagutan penuh kasih dengan senyum yang sama-sama merekah. Moodku langsung hancur, ku matikan ponsel dan menyimpannya pada laci.

Baru saja aku dibuat melayang dengan roti sobek dan tegas wajahnya, dan sekarang aku dihantamkan ke inti bumi setelah menerima kenyataan jika idolaku sudah mempunyai pasangan.

"Bajingan. Sulit sekali ternyata mengidolakan mereka yang telah memiliki kekasih. Jika cemburu, tidak mempunyai hak, jika berpura-pura tidak peduli, fikiran dengan hati tak pernah sinkron."

Kutarik tubuhku dan bersila di atas kasur, meletakkan bantal diatas paha dan meletakkan kedua tangan diatasnya sebagai penopang tubuh.

Mengacak-acak rambut frustasi dan kuhela nafas panjang. Pasca perdebatan sampah kemarin sore, kepalaku selalu ramai, tak pernah sepi, selalu dipenuhi dialog-dialog kemarin.

Bajingan sekali jin itu. Sifatnya membuatku maju mundur. Terkadang sifatnya yang sedikit manis membuatku terhanyut, tapi sifat tak mau kalah dan sering menghilang tak berkejelasan membuatku membencinya.

Jujur saja, entah aku yang bodoh, entah sifat jin itu  yang berubah-ubah mampu membuatku merasa tertarik. Mungkin aku bodoh, mencoba-coba menaruh rasa pada "mereka" yang tak pernah ada. Tapi ...  rasa tak mampu berbohong. Sekeras apapun aku menepis rasa itu agar tidak pernah tumbuh, sayangnya fakta berbanding terbalik dengan harapan.

DIFFERENT[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang