Broken without me?

5 2 0
                                    

Beberapa waktu lalu, jasad Amalia telah bersemayam dengan tenang dalam kelamnya liang lahat. Puluhan orang yang ikut mengantarkan satu persatu mulai kembali pada kediamannya masing-masing sambil menceritakan tragedi yang menewaskan Amalia kemarin malam.

Sedangkan aku, masih setia berbaring di tanah sembari memeluk pasir-pasir yang mengubur Amalia di dalamnya. Sedari awal Amalia diboyong dari keranda menuju liang lahat, aku benar-benar tidak berdaya. Dada bertalu-talu, air mata yang tak kuasa dibendung, marah, kecewa bercampur menjadi satu.

Lagi-lagi. Kehilangan. Aku benar-benar mengutuk kata-kata kehilangan dalam hidupku. Kehilangan itu menyiksa, mengapa harus ada kehilangan sedangkan pada awal pertemuan rasanya begitu indah? Orang bilang, setiap ketetapan Tuhan memiliki maksud di baliknya, bahkan sehelai rambut yang jatuh pun memiliki maksud di baliknya. Lalu, apa tujuan Tuhan menggariskan takdir seperti ini padaku?

Rintik gerimis perlahan membasahi bumi, kutadahkan pandangan dan kudapati langit perlahan ditutupi awan kelam. Pandanganku beredar kesana kemari, ternyata tak ada satu pun manusia yang berada di sekitar sini. Tapi ... tunggu sebentar, wanita berpakaian serba hitam dengan payung hitam yang berdiri di bawah pohon rindang nampaknya tidak asing, bukankah itu ... Berlin?

Dari kejauhan ia menatapku lekat, bibir dengan polesan lipstik merah maroon mengulas senyum bermakna kabur padaku. Langkah seksinya membawa tubuhnya menuju arahku, aku hampir tak mengenalnya. Penampilannya berubah 180°, wajahnya nampak lebih muda dan tubuhnya lebih kencang serta montok berisi. Jika di usianya yang sekarang telah menginjak 50 tahun asing rasanya melihatnya seperti ini.

Akan tetapi hal itu tak kuindahkan, sekarang yang menjadi pertanyaan dalam benakku kemana saja ia selama ini? Semenjak kepulanganku dari Negri Auvamor, ia tak pernah menampakkan batang hidungnya sama sekali. Berbulan-bulan lamanya ia menghilang dan sekarang ia kembali dengan penampilan yang amat luar biasa. Ini aneh, aku yakin ada yang tidak benar dengan dirinya.

Tepat berada di depanku, ia berdiri dengan angkuh. Ia tanggalkan kacamata hitam yang bertengger manis pada batang hidungnya nan tajam dan ia sematkan pada coat yang dikenakan.

"Turut berdukacita atas kematiannya."

Ia berjongkok, membawa tubuhku dalam dekapannya. Mengusap punggungku pelan dan pada akhirnya aku hancur terisak dalam pelukannya. Entahlah, meski ribuan pertanyaan yang menggunung dalam benak, tak ada satupun yang mampu diucapkan. Untuk sekarang hanya pelukan serta kehangatan yang aku butuhkan.

"Maafkan aku telah menghilang selama ini,  aku benar-benar meminta maaf, rekan kerjaku yang berada di luar negri memaksaku untuk tetap berada di sana. Dan sekarang aku telah menyempatkan datang kemari karena ada yang mengabarkan Amalia telah meninggal dunia. Aku benar-benar terpukul, turut berdukacita," ungkap Berlin sedikit terisak. Pelukan semakin ia eratkan, air matanya pun mulai terasa membasahi bajuku.

Aku tak bereaksi apa-apa selain turut menangis sepertinya. Hingga pada akhirnya, Berlin menjauhkan tubuhku, ia tersenyum seraya menyeka air mataku beserta tanah-tanah yang melekat pada wajahku.

"Mari, kita kembali pulang," ajak Berlin.

Aku mengangguk. Aku sempatkan menatap dan tersenyum singkat pada nisan Amalia. Sedikit berbisik, aku berkata, "Rest in peace, Amalia."

Di dalam mobil, baik aku ataupun Berlin tak bersuara sedikitpun. Keheningan menyelimuti meski keadaan di sekitar begitu berisiknya. Hingga perjalanan selesai dan posisiku sekarang telah menginjak halaman rumah milik Berlin, Berlin masih tak bersuara.

Tak ingin menyiksa diri dengan keheningan tak berjelas, aku segera melangkah masuk dan segera mengarungi kamar guna beristirahat dan mempersiapkan tenaga untuk bertanya kemana saja Berlin selama ini.

Kutarik kenop pintu, setelah pintu terbuka aku terpekik begitu kerasnya. Aku benar-benar terperanjat dan tak menyangka jika di hadapanku sosok yang telah lama menghilang kembali datang entah dengan tujuan apa. Aku benar-benar yakin, meskipun aku tak melihat wajahnya dengan jelas, namun aku mengetahui bentuk tubuhnya. Aku mengenalnya.

Aku terpekik, ia pun begitu. Mulanya ia begitu tenangnya telentang dengan wajah diberi masker dan kedua matanya ditutupi potongan timun tipis. Timun di matanya jatuh seketika, masker yang nampaknya sudah kering retak hingga serbuknya berserakan.

"Kau?! Vampir bajingan, apa yang kau lakukan di sini bodoh?" Aku benar-benar muak, aku segera masuk dan menarik tubuhnya dari kasurku. Syukurlah ia terpental ke lantai yang terdapat kotoran kelelawar disana. Untunglah aku belum sempat membersihkannya, dan nampaknya terdapat kotoran yang masih banyak dan hangat. Sepertinya itu baru saja dikeluarkan oleh kelalawar bajingan itu.

"Maaf, aku hanya kebosanan menunggu kau kembali hehe." Ia menyeringai kuda, wajah dengan sisa-sisa masker itu nampak tak memiliki rasa bersalah sedikitpun.

Sialan. Aku tak bisa mempercayai ini. Mengapa ia harus kembali ke sini, sedangkan aku sudah sangat tenang hidup tanpa diberi bumbu penyiksaan bersamanya. Dan sekarang? Ia kembali.

"Apa yang kau lakukan di sini, Alverd bodoh!" pekik ku menatap jengah pada Alverd yang tampak linglung. Ia memegang pantatnya, lalu ia arahkan pada hidungnya dan ya, ia menatap jijik pada tangannya dan mual hendak muntah di lantai jika saja aku tak mendorong tubuhnya ke arah jendela. Dan di jendela lah ia memuntahkan isi perutnya.

Detik demi detik berlalu hingga berubah menjadi menit, 1 menit berlalu Alverd baru saja selesai dengan kegiatan muntahnya. Ia mengernyit kelelahan, alisnya melengkung dan mulutnya terbuka layaknya tengah merengek.

"Kau menyiksaku Marcellia bodoh," gerutunya seraya mengusap-usap telapak tangan berkotorannya itu pada celananya.

Tak ku gublis keluhannya, ku tatap malas padanya seraya bertanya kembali, "Apa tujuan kau kemari? kau belum menjawab pertanyaanku."

Alverd menghela nafas panjang, ia menatapku singkat dan ia henyakkan tubuhnya pada kursi meja riasku. Ia menatapku dengan tatapan yang bisa aku artikan terluka, mungkin? Ia terlihat sedikit berbeda.

"Aku ingin menjemput kau kembali."

Kalimat yang ia ucapkan seketika membuatku terdiam bisu kehilangan kosakata. Menjemputku kembali? Untuk apa? Sudah. Aku sudah lelah berurusan dengan dunia mereka yang sulit untukku pahami. Aku dengannya jelas berbeda, karena perbedaan itu aku dengan mereka seharusnya tak berkomunikasi seperti ini.

"Ayolah, kau tau? Semenjak kepulangan kau beberapa bulan lalu, Azrael telah berubah 180°, ia berubah menjadi seorang pemimpin yang berdarah dingin dan kejam. Bahkan ia tak segan-segan membunuh prajurit serta pelayan yang tak sengaja melakukan kesalahan kecil padanya. Di setiap malamnya, ia selalu menghabiskan waktu dengan menatap bulan pada taman yang biasa kau datangi. Dan setiap malamnya, ia selalu menyebutkan nama kau di setiap tidurnya. Dia benar-benar hancur, kau harus membantunya karena kau satu-satunya penolong baginya," ungkap Alverd terdengar pasrah.

Aku tertegun. Azrael hancur tanpaku? Dan hanya aku satu-satunya penolong baginya? Cuih, mereka pikir aku peduli? Tentu tidak. Apapun yang terjadi padanya, baik itu ia sekarat, gila, sakau, aku tidak peduli sedikitpun. Perjuanganku selama ini menjauh dan bangkit tanpanya akan sia-sia jika kembali ke sana dan bertemu dengannya. Yang bener ajeee, rugi dongg!!

"Pangeran tampan yang malang, aku sangat terluka mendengarnya. Akan tetapi, sayangnya aku sangat sibuk, dan aku pikir aku sangat tidak kuat untuk bertemu dengannya dengan keadaannya yang sekacau itu."

"Tolonglah, Marcellia. Ia benar-benar hancur dan aku tidak yakin ia akan tetap bernafas besok jika kau tak kembali dan menemuinya." lagi-lagi Alverd merengek memaksaku. Lelah menghadapinya, aku lebih memilih keluar dan mencari sesuatu untuk mengganjal perut.

"Paman Han dalang dari semuanya."

DIFFERENT[✓]Onde histórias criam vida. Descubra agora