「43. Aelea, Tamara, dan Penyiksaan」

9 2 0
                                    

Aelea terus berdoa kepada-Nya agar sesegera mungkin ia bebas dari sini. Tamara dan Danang sudah benar-benar berani untuk menyakitinya lebih dari sebelumnya. Semenjak ia dipindahkan ke sini, perbuatan kedua orang yang menculiknya itu semakin parah dan hampir membuat nyawanya melayang.

Seperti subuh-subuh tadi, Danang dengan nekatnya menutup wajahnya dengan bantal dan menekannya yang membuat Aelea hampir kehilangan napas. Aelea mendengar dengan jelas percakapan dua orang itu dan masih mengingatnya sampai sekarang.

"Kamu ambil bantal, Tama!"

"Buat apa, Yah?"

"Bawa aja!"

"Yah, dia bisa mati cepat kalau gitu."

"Kamu ini! Lebih bagus dia mati cepat dan kita segera kabur dari sini."

"Kenapa, sih, Yah? Kan kita sepakat buat nyiksa dia karena balas dendam masing-masing."

"Polisi udah mencium keberadaan kita di sini. Keadaan udah gawat sekali, Tama!"

Hanya itu yang bisa Aelea dengar karena ia hampir kehabisan napas saat Danang menekan keras bantal itu ke wajahnya.

Sekarang Aelea sedang terduduk di lantai di dekat pojokan karena saat Tamara dan Danang pergi keluar rumah, Aelea menyeret tubuhnya sendiri sampai ke pojokan dinding yang ada ventilasi udara di atasnya.

Namun, hanya sebentar saja Aelea merasakan ketenangan dan sekarang suara Tamara yang baginya sangat menakutkan itu masuk ke dalam gendang telinganya. Tangis Aelea keluar begitu saja membasahi pipinya lagi.

Dengan tangan dan kaki yang diikat erat, Aelea tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah disakiti oleh mereka. Berteriak pun rasanya percuma karena sebelumnya Aelea sering berteriak minta tolong, tetapi tidak ada satu pun orang yang datang menolongnya. Entah tidak ada orang atau diancam oleh preman-preman bawahannya Danang, Aelea tidak tahu pasti.

"Ayah, ayah kenapa marah begitu?" tanya Tamara yang terus mengikuti arah langkah Danang yang kini menuju ke arah Aelea.

Danang yang tidak memedulikan pertanyaan anaknya itu malah menghampiri Aelea dan menyambar dagi Aelea dengan paksa. Danang membuat Aelea mendongak ke arahnya.

"Kamu yang kirim anak itu ke sini kan? Dasar, ya, anak bangsat satu ini!" Lalu, satu tamparan pun hinggap di pipi kanan Aelea yang sudah memerah kesakitan itu tanpa pemberitahuan.

Aelea diam menerima perlakuan kasar itu. Ia sudah lelah untuk melawan Danang karena semakin dilawan, Danang semakin mencurahkan emosinya kepada Aelea. Sekarang Aelea sangat menjaga agar rasa sakitnya tidak semakin parah.

"Jawab saya, Bangsat!" Kini, tamparan lagi menghinggapi pipi kiri Aelea dan memukulnya berulangkali sampai akhirnya Aelea membuka suara.

"A-aku ...," lirih Aelea yang rasanya kesusahan untuk berbicara jelas akibat rasa sakit yang sudah parah dibagian wajahnya.

"Apa?" tanya Danang penuh emosi.

"Aku ... tidak ta-tahu ... apa-apa," kata Aelea terbata-bata karena memaksakan diri untuk bersuara.

Bukannya mendengar perkataan Aelea, Danang malah beranjak dari sama dan kembali sambil membawa benda tajam yang sangat Aelea benci. Ketika Aelea melihat benda itu, Aelea teringat dengan ayahnya yang meninggal dalam kecelakaan, tetapi di tubuhnya banyak luka sayatan.

Trauma Aelea yang lain pun muncul ke permukaan. Aelea tidak bisa bertahan lagi sekarang. Kepalanya pusing sekali dan semua yang dilihat Aelea sekarang berputar-putar tidak keruan. Dada Aelea semakin sesak karena sedikitnya udara yang ia hirup sekarang.

"Ayah, kita seriusan mau langsung bunuh dia?" pekim Tamara yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu untuk melihat tingkah ayahnya yang memarahi Aelea karena melihat itu membuatnya merasa puas. Namun, saat melihat Sang Ayah membawa pisau lipat entah dari mana asalnya, tentu saja Tamara panik entah karena apa.

"Kamu mau yang gantiin dia?" Danang balik bertanya dengan mata yang sudah menggelap. Danang sekarang sudah kalap. Isi pikirannya berkecamuk, ada untuk membalaskan dendamnya lagi dengan membunuh Aelea, ada juga pikirannya memikirkan Hesa yang hampir menemukan tempat persembunyiannya ini.

Walaupun bocah ingusan SMA itu sudah ia bereskan dengan membuangnya ke sungai, Danang masih tidak akan aman karena keberadaannya akan terungkap. Di rumah ini, segala hal yang Danang sembunyikan ada di sini.

Danang memberitahukan tempat ini sebagai tempat cadangan jika sewaktu-waktu rumah tua di tengah hutan itu diketahui oleh orang yang mencari Aelea. Namun, sekarang tempat pemukiman warga yang tidak ada tamda kehidupan ini hampir diketahui oleh anak yang bernama Hesa itu.

Jadi, satu-satunya jalan yang dipikirkan Danang sekarang adalah membunuh Aelea secepatnya dan kabur dari sini sebelum polisi menangkapnya lagi. Ya, Danang adalah narapidana yang kabur dari penjara atas kasus pembunuh berencana ayahnya Aelea. Hal itu tidak diketahui Aelea, bahkan Tamara juga tidak mengetahui bahwa Danang itu seorang narapidana.

"Tapi kan kita belum nyiksa dia kali, Yah," keluh Tamara sambil menahan tangan kiri ayahnya yang tidak memegang pisau lipat.

"Kita hampir ketahuan sama Hesa, Tamara! Dia ada di sini! Ini semua gara-gara Laga yang datang ke sini untuk ngebantu, tapi malah ngirim jebakan!" bentak Danang yang sudah tidak bisa lagi menahan emosinya. Walaupun Tamara adalah anaknya, Danang tidak peduli jika ada hal yang lebih penting dari segala itu.

"Apa?" Tamara terkejut bukan main saat mendengar perkataan ayahnya itu dan kemudian membalasnya dengan tidak terima. "Bukannya tadi di telepon, ayah bilang kalau udah singkirin Hesa? Terus kenapa Laga disalahin?"

Danang pun menghela napasnya berat. Ia menatap Tamara dengan tatapan membunuh sambil mengatakan beberapa kalimat yang membuat Tamara mati kutu. "Ya, dia sudah ayah singkirin. Tapi mana tahu ada yang ngebantu dia karena dia udah curiga sama Laga! Sekarang aja Laga sama bawahan ayah entah kemana perginya, Tama."

Setelah itu, Danang pun menghempaskan tangan anaknya yang menahan tangan kirinya. Ia harus mengakhiri ini sekarang juga dan kabur dari sana secepatnya. "Kamu kalau nggak mau lihat darah banyak, sana keluar jaga-jaga ada yang datang."

Mendengar perkataan itu, Tamara menjadi bimbang menuruti perkataan ayahnya atau melakukan hal yang akan membuat Danang marah kepadanya. Sebenarnya Tamara hanya ingin menyakiti Aelea secara fisik sedikit, tetapi dalam secara mental, karena Tamara ingin melihat kesakitan Aelea seumur hidup itu. Namun, jika Aelea langsung dibunuh, rasa balas dendamnya tidak tercapai dan tidak membuatnya puas. Bagi Tamara, orang yang cocok untuk dihabisi sekarang adalah Hesa karena laki-laki itu selalu mengganggu rencananya dari awal bahkan sampai sekarang.

Sementara itu, seorang gadis yang penuh memar diwajahnya semakin mundur ke dinding dan berakhir memojok di sana, tidak ada jalan menghindar yang lain. Aelea tidak percaya mendengar percakapan Aelea dan Danang itu. Percakapan mereka benar-benar membuat Aelea terkejut, apalagi tentang Laga yang ternyata bersengkongkol dengan mereka berdua.

Saat melihat Danang yang secara perlahan-lahan mulai mendekatinya, Aelea sudah kalang kabut. Ia pun menundukkan kepalanya sambil memejamkan mata seerat mungkin sampai terlihat semut-semut kecil berwarna didalam kegelapan sana. Aelea terus berdoa dalam hati akan keselamatannya sekarang dan juga meminta maaf sambil membayangkan wajah Sang Mama, Psikiaternya, Hesa, Lean, Keano, Nora, dan orang-orang baik yang pernah berhubungan dengannya.

"Selamat tinggal, semuanya. Aku minta maaf atas segala kesalahanku dan semoga kalian semua bahagia selalu dan dijauhkan dari marabahaya apalagi seperti yang aku alami sekarang," batin Aelea sebelum pisau lipat yang akan ditancapkan Danang kepadanya jika benar-benar membuatnya kehilangan nyawa.

❃.✮:▹ ◃:✮.❃

Hallo!

See you next part yoo!


Parah nih, Aelea akan mati beneran atau bagaimana nih? 😟
Nantikan dua part ke depan yaa :')

Hesa and Aelea「 END 」Where stories live. Discover now