Hurt.. (2)

4.1K 110 55
                                    

"Kak Venita.." panggil Radit pelan saat menemukan Venita tengah berjongkok menahan tangis di depan pintu sebuah bangsal.

"Radit.." jawab Venita lirih tanpa beranjak dari posisinya.

"Kak.. Bagaimana keadaan kak Verly?" tanya Radit hati-hati seraya turut berjongkok, mensejajari Venita.

"Hiks.. Aku.. Aku ga tahu, Dit.. Hiks.. Mereka kini didalam, Dit.. Mereka.. Mereka sedang meminta Dennis untuk mengenali.. Apakah ada diantara jenazah di dalam sana yang merupakan bagian tubuh Verly.." jawab Venita dengan derai air mata yang telah tak tertahankan.

Ia menangis sesenggukan, tangis yang sejak tadi berusaha ia tahan akhirnya pecah juga.

Raditpun berusaha sekuat tenaga menahan kesedihannya, tak ingin membuat perempuan di sampingnya semakin rapuh.

"Kak.. Kita berdoa saja memohon yang terbaik. Apapun hasil autopsy nanti, mungkin itu adalah yang terbaik untuk Kak Verly maupun kita semua.." ucap Radit bijak seraya menepuk-nepuk bahu Venita pelan, berusaha menguatkan.

Bukannya mereda, tangis Venita justru semakin keras mendengarnya.

"Enggak, Dit.. Enggak.. Kamu ga boleh bicara begitu! Verly ga boleh kenapa-napa.. Verly ga boleh meninggal.. Enggak!" ucap Venita setengah berteriak.

Dalam hati, Radit pun ingin meneriakan kalimat yang sama. Ia sama sekali tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Verly. Meski ia memang tak pernah dekat dengan kakak perempuan Vanya yang satu itu, namun tetap saja ia sudah terlanjur sayang pada keluarga mereka. Ia sama sekali tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada keluarga Vanya, karna itu pasti akan membuat Vanya sedih.

Namun ia mengatakan hal tersebut hanya agar Venita dapat tegar dan dapat mempersiapkan mental untuk kemungkinan terburuk yang mungkin saja terjadi.

"maafkan aku, kak.." ucap radit lirih. 

Cekreeek...

Tangis Venita terhenti seketika ketika terdengar suara daun pintu yang dibuka dari dalam ruang bangsal.

Perlahan langkah gontai Dennis terlihat keluar dari balik pintu tersebut. Dengan wajah pucat pasi dan tatapan kosong ia berjalan melewati mereka, berjalan ke arah ujung lorong rumah sakit tua tersebut.

Tanpa aba-aba Venita dan Radit pun berjalan mendekati Dennis.

Dennis menghentikan langkah gontainya dan berdiri menghadap tembok bercat putih tersebut. Tak lama kemudian mungkin merasa telah tak tahan lagi menahan beban di kepalanya, ia pun menyadarkan kepalanya menghadap tembok.

"Hiks.. hiks.. hikss.." terdengar isakan pelan dari balik punggung Dennis yang bergetar hebat. Sesekali kepalan tangannya menghantam tembok semen di hadapannya.

Pemandangan itu pun membuat langkah Radit dan Venita gemetar. Sibuk membayangkan hal-hal mengerikan yang sanggup membuat Dennis terisak begitu pedih seperti itu.

Part of LifeWhere stories live. Discover now