Day 01

322 47 3
                                    

Arlott merupakan masyarakat pedesaan yang terpaksa harus merantau untuk menempuh pendidikannya di ajang terakhir; perkuliahan.

Tidak mampu membeli sebuah rumah, Arlott memutuskan menyewa satu kamar apartemen pas-pasan yang hanya untuk dihuni dirinya seorang.

Barang bawaan sedang di peluknya antar lengan, membawa kardus berisi muatan pakaian ke kamar apartemen yang sudah resmi Ia sewa mulai hari ini.

Hanya bermodalkan kekuatan dan tenaga, Arlott rela tidak menyewa bantuan pengangkutan barang hanya demi menghemat uang tabungan. Ia membawa semua dus miliknya seorang diri.

Arlott hanyalah sebatang kara sekarang, semenjak kepergian dari orang tuanya yang meninggal bekas luka di hati dan kehadiran adiknya yang masih dibilang terlalu muda membuat Arlott memilih untuk merantau demi menuju masa depan yang lebih baik.

Peluh membasahi wajahnya, menetes turun dari rahang tegas itu. Sesekali Ia mengusapnya dengan punggung tangan dan kembali membawa ke dalam kamar apartemennya.

Karena fokus pada kesibukannya memindahkan barang, Arlott tak sadar bahwa aktivitasnya sudah cukup lama diamati oleh pria asing yang bersender di tembok samping pintu kamar apartemennya.

"Hai?" —Sapa pria itu.

Mendengar sapaan asing, sontak membuatnya menolehkan kepala. Arlott cukup kaget pasal melihat pria besar yang asing tersenyum kearahnya sembari melambaikan tangan, memberikan sapaan yang baik.

".. Ha.. Halo." Arlott membalasnya dengan kaku.

Jangan salahkan apabila orang-orang cenderung menganggap Arlott pria yang sangat tidak memiliki hati, mukanya selalu saja datar bagaikan patung. Bahkan di situasi sekarang, Ia hanya membungkukkan badan sebelum kembali fokus memindahkan barang.

Di sisi lain, pria asing itu masih diam ditempat, memandangi gerak-gerik Arlott tanpa ada minat membantu. Sekilas ia mengulas senyuman tipis sebelum akhirnya beranjak dari posisi dan mengambil kardus yang di angkat Arlott.

"Biar gw bantu."

Satu kalimat itu terngiang di dalam kepala Arlott, terdiam bagaikan patung dan membiarkan pria asing itu masuk ke dalam apartemennya tanpa adanya izin.

"Hei, jangan bengong." Tegur pria itu.

Arlott seketika mengedarkan pandangannya ke sekitar, Ia melamun tanpa disadari dan sekarang berakhir linglung. Pria itu terkekeh melihat sikap kaku dan bingung Arlott buat, setelah meletakkan kardus terakhir Ia berjalan mendekat.

Diulurkan tangan itu, sebagai ucapan perkenalan mereka berdua.

"Salam kenal, gw Fredrinn. Tetangga sebelah lu." --Pria itu memanggil namanya Fredrinn.

Arlott membalas jabatan tangannya dengan cukup lambat, perasaan canggung dan sikap introvertnya kepada orang baru kembali kambuh. Ia hanya menganggukkan kepala paham.

"Nama lu?" Tanya Fredrinn tanpa minat melepas jabatan tangan mereka berdua.

Diberi pertanyaan tentang nama saja sudah begitu sulit untuk dijawab, Arlott berasa Ia sedang di ruangan ujian beasiswa perkuliahan dan itu merupakan soal tersulit yang pernah Ia temukan.

Mulutnya terbuka, menarik udara disekitar dan menyiapkan sebuah kalimat panjang atau mungkin hanya sekedar menghirup udara.

"Arlott.."

"Panggil aja, Arlott."

Fredrinn mengulas seringai tipis, mengangguk paham sebelum melepaskan jabatan tangan mereka. Tangannya tiba-tiba menepuk kepala Arlott tanpa alasan, lalu berjalan begitu saja keluar dari kamar.

"Sampai jumpa besok, tetangga!" Ucap perpisahannya.

Arlott hanya dibuat diam membisu di depan pintu apartemennya yang terbuka, bingung sekaligus tidak tahu harus bereaksi apa atas tindakan Fredrinn secara tiba-tiba.

Tangannya terangkat, mengusap kepalanya sendiri lalu menatap kosong ke arah lantai.

Entah mengapa, pria itu sepertinya akan menambah memori baru untuknya.

𝐀 𝐌𝐀𝐍 𝐍𝐄𝐗𝐓 𝐃𝐎𝐎𝐑.Where stories live. Discover now