Day 3

171 36 0
                                    

Setelah sebuah kebenaran terungkap bahwa Fredrinn memiliki hubungan dengan lelaki lain, Arlott cenderung menghindar tanpa alasan. Entah untuk apa Ia melakukan hal itu.

Bahkan sapaan, sekedar pertanyaan atau mungkin sebuah ucapan selamat malam tidak pernah Ia jawab sama sekali. Ia terlalu takut.

Malam itu, wawancara yang kedua sudah selesai. Arlott menghela nafas berat merasa semakin hari beban yang dipikul semakin terasa, Ia harus bisa berjuang sebatang kara demi adiknya yang akan bersekolah nantinya.

Dan sesuai dugaannya, Fredrinn selalu membuang sampah di saat jam Ia pulang melamar kerja. Genggaman pada tali ransel mengerat, Arlott menundukkan kepala sembari berjalan kearah kamar apartemennya.

Tangannya yang berkeringat dingin akibat cuaca malam menggenggam kuat kunci pintu itu dan berniat memasukkan, tidak peduli bahwa kehadiran Fredrinn masih dekat dengannya.

BRAK!!

Kunci apartemennya terjatuh akibat Arlott terkejut, Ia seketika mendongak menatap kearah Fredrinn yang baru saja memukul pintu apartemennya dengan kepalan tangan saja.

Tidak ada senyuman ramah atau mata yang menunjukkan ketulusan, ekspresinya jauh berbeda dari sebelumnya. Ekspresi datar, mata gelap dan tidak bercahaya membuatnya semakin menyeramkan.

"Kenapa lu menghindari gw?" Interogasi Fredrinn.

Arlott hanya diam menatapnya, lidahnya terasa kelu dan tenggorokannya terasa kering. Ia bahkan tidak tahu apa alasan Ia menghindari pria yang baru saja menjadi tetangganya di hari ketiga.

Ah, Ia mengingatnya.

Pacarnya mendatanginya saat Ia sedang dalam perjalanan menuju ke tempat lamaran kerja yang berbeda. Memintanya untuk jangan pernah dekat dengan Fredrinn, menyuruhnya menjauh, mengatakan hal yang tidak pantas didengar.

Arlott tidak mau terlibat masalah, maka Ia memilih untuk melakukan apa yang diminta pria itu. Ia perlahan membungkukkan badan untuk mengambil kunci apartemennya.

Tetapi, lagi-lagi Fredrinn menghalanginya masuk dengan menendang kunci itu sehingga terpental cukup jauh.

"Apa mau mu?" Tanya Arlott menatap datar Fredrinn.

"Jangan balik bertanya, jawab pertanyaan gw apa susahnya?" Ketus Fredrinn.

Arlott membuang muka, tidak mau memandang wajah pria itu. Ia segera melangkah ke kunci apartemennya berada, bungkuk dan mengambilnya.

Kali ini digenggam erat agar tidak jauh kesekian kalinya, Arlott membuka pintu apartemennya. Ia menoleh, menatap datar kearah Fredrinn yang belum beranjak.

"Pinggirkan tanganmu atau mau kehilangan seluruh jarimu?" Ancamnya serius.

Fredrinn memandanginya dengan ekspresi lebih menyeramkan, tetapi Ia menurut dengan menurunkan tangannya dari pintu itu. Membiarkan Arlott membuka pintu apartemennya dan masuk begitu saja.

Cklek.

Di posisi yang sama, Fredrinn mengacak rambutnya frustasi, mendengus kasar sebelum kembali ke kamar apartemennya. Ia tidak suka diabaikan, Ia tidak suka orang-orang menganggapnya bagaikan angin.

Arlott menghela nafas berat, serasa baru saja melewati maut. Punggungnya bersender di pintu apartemen, mukanya lebih pucat dari biasanya, begitu pula detak jantungnya yang berdegup kencang.

Ia hanya tidak mau dianggap sebagai sosok pengganggu diantara hubungan Fredrinn; tetangganya.

𝐀 𝐌𝐀𝐍 𝐍𝐄𝐗𝐓 𝐃𝐎𝐎𝐑.Where stories live. Discover now