📍 Mansion keluarga Johnny, 06:12
"Sayangg! Ayo turun sarapan cepat. Di bawah ada yang cariin kamu nih!" seru Chitta memanggil anak semata wayangnya dari dapur.
Tak lama, terdengar suara langkah kaki yang lumayan cepat dari arah atas tangga. Chitta yakin sekali kalau itu adalah langkah kaki anak tersayangnya.
"Siapa, Mam?" tanya Haechan sambil memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan.
"Tuh."
Sang Mama menjawab sambil menunjuk sosok objek yang menunggu Haechan dari tadi.
Haechan langsung menganga lebar saat melihat siapa yang dimaksud oleh sang mama.
"Pagi," sapa Mark dengan suaranya yang cukup lembut mengalun di kedua telinga Haechan.
Haechan meneguk salivanya dengan sedikit susah.
"Pa ... Pagi," balas Haechan dengan cukup gugup sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Haechan malu bila wajahnya yang merona dilihat oleh Mark.
"Kenapa datang ke mansion keluarga gue, Mark?" tanya Haechan pelan tetapi masih bisa didengar dengan jelas oleh Mark yang tengah duduk di samping kanannya.
Ya, Mark dan Haechan ikut sarapan pagi bersama kedua orang tua Haechan pastinya. Dengan posisi Chitta dan Johnny yang duduk berdampingan dan juga Haechan serta Mark yang duduk tepat di depan mereka.
Mark itu tipikal orang yang tidak mudah grogi. Lebih tepatnya, dia tidak merasa canggung sama sekali walaupun itu dengan orang tua, hanya canggung dalam keadaan tertentu saja.
"Saya minta izin buat berangkat sekolah bareng anak Tante sama Om. Boleh?" tanya Mark tanpa rasa gugup.
"Bawa aja itu anak sama lo. Dia kalau berangkat bareng sama gue, nggak afdol kalau nggak singgah di supermarket dulu," jawab Johnny.
Haechan langsung melotot ke arah sang ayah, sedangkan sang ayah hanya menatap dengan tatapan santai tanpa ekspresi.
Sarapan itu diiringi dengan canda gurau dari sang kepala keluarga, sedangkan sang tamu hanya menanggapi dengan seadanya. Haechan? Anak itu berusaha bersikap santai dan menahan malu secara mati-matian karena sifat ayahnya yang menurutnya tengil.
Tak lama mereka menikmati sarapan pagi, Mark dan Haechan langsung menuju sekolah setelah berpamitan pada Johnny dan Chitta.
Di sinilah sekarang mereka berdua, di dalam mobil sang dominan menuju sekolah.
Tak ada percakapan sama sekali di antara mereka berdua, hening.
Haechan diam-diam melirik ke arah bibir tipis pemuda beralis camar itu, lalu tanpa sadar dia berteriak dengan cukup keras.
"Aaaaa!"
Mark yang tadinya fokus menyetir langsung menginjak rem mobilnya.
"Kenapa?" tanya Mark khawatir.
Haechan merona untuk yang kesekian kalinya, diiringi dengan kepalanya yang menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Astaga ... Gue pikir lo kenapa sampai tiba-tiba teriak nggak jelas kayak gitu," ujar Mark.
Mark mengelus dengan lembut surai pemuda berkulit Tan yang ada di sampingnya itu, lalu dia kembali menancap gas mobilnya menuju sekolah.
Haechan diam-diam menyentuh rambutnya yang tadi di elus lembut oleh Mark, lalu sebisa mungkin dia menahan senyumannya.
"Mark..."
"Ya?"
"Habis ini kita langsung ke rumah sakit aja, ya? Nggak usah langsung ke sekolah."
Tanpa banyak bertanya lagi, Mark kembali menginjak rem mobilnya karena jawaban Haechan.
"Lo sakit apa?! Kenapa enggak bilang dari tadi aja?!" tanya Mark panik.
Haechan menggelengkan kepalanya dengan cepat sambil memegang dadanya.
"Jantung gue detaknya cepat banget. Perut gue rasanya aneh banget. Dan gue nggak tahu kenapa mau senyum-senyum terus, Mark! Kenapa efek lo yang perhatian sama gue berasa banget?!" panik Haechan.
Mark yang tadinya panik langsung tertawa terbahak-bahak saat mendengar jawaban sang submisif.
"Kayaknya lo harus sediain jantung tiap hari deh, Chan. Soalnya nanti kedepannya gue makin perhatian sama lo," ucap Mark sebelum kembali melajukan mobilnya menuju sekolah mereka.
"Mamaaa! Tolong bawa anakmu ke UGD secepatnya! Anak Mama baper gara-gara cowok sialan ini!" batin Haechan sambil memegang dada tempat jantungnya yang berdetak cepat.
Sesampai di sekolah, Mark lebih dulu turun dari mobil dan membukakan pintu mobil khusus untuk Haechan.
"Ng ... Nggak usah segitunya, Mark," ucap Haechan malu.
"Gak apa-apa demi lo," jawab Mark.
Dengan lancang pemuda beralis camar itu menggandeng lengan Haechan tanpa peduli tatapan semua orang pada mereka berdua.
"Biar gue yang antar ke kelas lo," tawar Mark.
"..."
Haechan tersenyum lebar sambil mengangguk dengan begitu senang, tetapi senyumannya tak bertahan lama.
"Kenapa tiba-tiba baik kayak gini, Mark? Apa ini sifat lo yang akan bertahan sama gue? Jangan sampai nanti siang berubah lagi ke setelan awal," batin Haechan.
Baru saja Haechan ingin melepaskan genggaman tangan Mark, Mark malah menahannya dan mempererat genggaman tangan mereka berdua.
Tak lama, mereka berdua akhirnya sampai di depan kelas Haechan.
Mark kembali mengelus surai indah itu dengan penuh kasih.
"Belajar yang benar dan jangan main HP," peringat Mark.
"Iya," jawab Haechan sambil tersenyum lembut.
"Ya udah. Gih masuk ke dalam sebelum gurunya datang," perintah Mark.
"Tangannya?" tanya Haechan pelan.
Haechan menjatuhkan pandangannya untuk menatap genggaman tangan Mark pada tangannya.
Mark terkekeh, lalu dengan segera dia melepaskan genggaman tangannya pada tangan mungil itu.
"Maaf. Enggak kerasa karena kenyamanan banget," ucap Mark.
Haechan blushin.
"Chan!" seru Mark saat Haechan hendak masuk ke kelasnya.
"Ya?" jawab Haechan.
"Belajar yang rajin ya!" seru Mark sambil memberikan finger heart.
Haechan merona.
"LCD nya rusak ya?" gumam Haechan malu-malu.
- 🧁🧁🧁 -
KAMU SEDANG MEMBACA
You Giving Up? | MarkHyuck
Teen Fiction"Kapan es kamu yang tebal itu mencair? Takutnya nanti aku capek ngejar kamu." -Lee Haechan. "You giving up?" -Mark Lee ------------------------------------------ Haechan si primadona universitas tak cukup sempurna di mata sosok Mark Lee yang juga sa...