1410 💙 Dukungan Para Member

27.1K 3.7K 839
                                    

Suara langkah kaki yang menghentak perlahan terdengar dari kamar paling ujung, mengundang Arga yang sedang fokus memberi makan ikan peliharaannya praktis mengangkat kepala untuk sesaat.

Jendral duduk dengan kedua kakinya yang naik ke atas sofa di ruang tengah. Ia juga menarik selimut kecil yang tergeletak di sofa tempatnya duduk dan menggunakannya untuk menutupi tubuhnya. Jika melihat gambar UFO yang terpampang jelas di selimut itu, Jendral tak perlu berpikir lagi untuk menebak siapa pemiliknya.

"Kok dingin banget, ya, hari ini," celetuk Jendral.

Arga menegakkan tubuhnya sebelum menyahuti, ia mengedikkan kepalanya ke arah balkon, lebih tepatnya ke arah langit pagi yang mendung.
"Liat aja, masih ada kabutnya begitu, abis ujan dari semalem," katanya.

"Itu kabut atau polusi?" tanya Jendral.

Arga menoleh dan menatapnya dengan senyum miring, detik berikutnya ia meletakkan pakan ikannya dan berjalan ke arah sofa. "Menurut lo aja."

"Btw, gue udah lama banget mau nanya sama lo, Na," celetuk Jendral.

"Apa?" tanya Arga yang sudah mulai bermain ponsel.

"Itu." Jendral menunjuk aquarium milik Arga.
"Miniatur model begitu dapet di harga berapa?"

Setelah melihat beberapa saat, Arga langsung menjawab dengan santai, "Oh, sekitar sejuta, kayaknya."

"Lo nyebut berapa barusan?" beo Jendral.

"Sejuta. Lebih seratus apa berapa gitu lupa. Gak semahal yang lo bayangin," jawab Arga.

"Itu udah mahal, ya, Na, di otak gue malah nggak mikir ampe segitu apalagi lebih," ujar Jendral.

"Enggak sih kalo menurut gue," balas Arga tanpa menoleh sekalipun pada Jendral.

"Anjir bener," gumam Jendral.
"Apa alesannya lo rela ngeluarin sejuta buat miniatur kayak gitu coba?"

"Karena di saat gue depresi atau sedih, liat itu gue bisa bahagia, jadi keliatan cantik juga, kan, aquariumnya?" jawab Arga.

Wah, bener kata Cakra, bahagia itu mahal, pikir Jendral.

Di tengah obrolan santai antara Arga dan Jendral, suasana menjadi semakin hidup ketika Haikal tiba-tiba muncul dari kamar. Jendral dan Arga spontan menoleh ke arahnya, wajah mereka penuh dengan kejutan.

"Pagi," sapa Arga dengan ramah.

"Pagi," balas Haikal sambil menutup pintu kamar dengan lembut, membuat suara yang halus terdengar di udara pagi.

Jendral tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Persentase sadar berapa persen, Mbul?" tanyanya sambil menatap Haikal dengan serius. Arga terkekeh sambil terus bermain dengan ponselnya.

Haikal, dengan santai, menjawab, "85%." Lalu, ia melangkah menuju dapur dengan langkah yang sedikit gontai, mencari sesuatu yang bisa membantu memulihkan energinya.

Putra Bratajaya itu membuka pintu lemari pendingin dengan perlahan. Ia bersuara, "Buah yang udah di potong nggak ada, ya?"

Jendral menjawab tanpa berpaling ke arah dapur, "Tinggal motong aja, Kal, kalau udah habis."

Namun, Haikal langsung hening, tak menjawab lagi. Meskipun ragu, ia mengangguk paham sambil mengeluarkan sebuah apel dari dalam kulkas dan meletakkannya di atas meja.

Dengan perasaan ragu yang memenuhi pikirannya, Haikal berdiri di depan laci pisau. Ia menelan ludah dengan susah payah, perasaan ragu dan takut tiba-tiba menghampirinya. Sejak kejadian malam itu, pisau terlihat sangat berbeda di matanya.

SAPTA HARSA {TERBIT} ✓Where stories live. Discover now