23. SELAMAT JALAN, DIPTA...

1.5K 140 12
                                    

SELAMAT MEMBACA! ❤️
(Direkomendasikan sambil mendengarkan lagu Shanna Shannon - Rela)

-----------------------

Langit pagi berwarna kelabu. Awan mendung seolah ikut meratapi kesedihan manusia-manusia yang tengah berkabung dibawahnya. Tangisan pilu menjadi saksi atas sebuah kepergian yang siapapun tidak pernah ingin mengalami.

Dibawah payung hitam, dan dalam pelukan Mama Karisa, Mama menangis meratapi kepergian Dipta. Sesekali, Mama terduduk karena tidak sanggup menatap kepergian anak tercintanya. Kenangannya bersama Dipta saat sudah menginjak dewasa, belumlah terukir banyak. Mama baru saja memberikan kasih sayang seorang ibu yang selayaknya, tiba-tiba harus terbentur kenyataan bahwa salah satu belahan jiwanya, kini harus pergi untuk selamanya.

Papa, Mas Dhana, dan Bapak Karisa berada dalam liang lahat. Turut mengantarkan kepergian Dipta menuju keabadian dalam tidur lelap yang panjang. Cakra hanya bisa diam. Cakra ingin menangis. Namun, rasanya sulit. Cakra hanya bisa menatap Dipta, Abang tercintanya yang semakin lama, semakin tertutup oleh tanah. Juna merangkul erat Cakra. Karena, ada sesekali dimana Cakra seolah tidak memiliki keseimbangan. Cakra sudah beberapa kali hampir ambruk jika tidak ditahan oleh Juna. Dibanding Cakra, Juna lah yang terlihat menangisi kepergian Dipta.

Jevan menangis di pelukan Raka. Jevan tidak pernah menyangka jika kehilangan Dipta adalah luka yang ia sendiri tidak tahu akan sembuh dengan cara apa. Raka hanya menatap Dipta yang bahkan raganya sudah tidak lagi terlihat.

"Ka, kenapa Dipta cepet banget perginya, Ka ..."

Raka hanya bisa menarik nafas berat. Mencoba menata perasaannya yang bahkan entah sudah sehancur apa.

"Dip, gue belom bilang kalo gue sayang banget sama lo, Dip! Tega lo ninggalin kita semua disini?"

Racauan Jevan sukses membuat air mata Raka menetes. Raka menyerah. Sekuat apapun Raka berusaha untuk tabah, nyatanya kepergian Dipta membuat jiwanya terluka parah.

"Dipta udah sembuh, Jev ... itu yang selama ini kita inginkan, kan?"

"Gue tahu, Ka. Tapi, bukan sembuh ini yang gue maksud,"

Raka merangkul Jevan. Mencoba menenangkannya walaupun ia sendiri sebenarnya juga sangat butuh ditenangkan.

Diantara tangisan dan lantunan doa yang menggema, Raka menatap ke arah Karisa. Karisa hanya menatap Dipta yang kini sudah sepenuhnya berada dalam gundukan tanah dengan tatapan kosong. Sesekali, Alia mengelus pundak Karisa. Namun, tak ada suara dan air mata sedikit pun dari Karisa. Jujur, Raka sangat khawatir. Akan lebih baik jika Karisa menangis dan meraung saja sambil memanggil-manggil nama Dipta, dan berteriak jika Karisa tidak ingin kehilangan Dipta daripada harus diam seperti manusia yang tidak lagi memiliki jiwa.

"Sa, mau naburin bunga buat Dipta?" Tanya Alia. Karisa hanya menggeleng.

"Sa, lo boleh nangis kalo lo mau. Gue ada disini, Sa! Nggak pa-pa. Lo boleh banget buat nangis!"

Karisa hanya bergeming. Jiwanya mati. Dipta, kekasih hatinya, kini sudah tidak ada lagi didunia.

Pusara basah dengan taburan bunga yang berada diatasnya, menjadi pemisah paling nyata antara dua dunia. Karisa berjongkok dan meletakkan setangkai mawar putih yang sedari tadi ia genggam di depan nisan dengan tulisan nama "AKSARA DIPTA BUMANTARA" disana. Tidak ada satu pun kalimat yang keluar dari mulut Karisa.

AKSARA [Tahap Revisi] ✔Onde histórias criam vida. Descubra agora