I ; home cafe

323 24 2
                                    

“sometimes home is not like a real home.  sometimes it called prison full of thorns.”
_________

Kuliah itu menyenangkan. Senang waktu pengumuman penerimaan mahasiswa barunya saja. Apalagi kalau yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bergengsi lewat jalur seleksi nasional, senangnya bukan main. Lolos jalur seleksi bersama maupun mandiri juga tak kalah lebih membanggakan karena terlihat jelas hasil dari perjuangannya. Bukan berarti membeda-bedakan, keduanya sama-sama berjuang.

Aletta bukanlah seorang mahasiswi yang masuk dalam kategori ketiganya. Perguruan tinggi swasta menjadi pilihannya setelah ditolak dua kali oleh PTN impian melalui dua jalur. Tuhan punya rencana lain dengan berakhir kuliah di perguruan tinggi sekarang—Universitas Batavia—adalah takdirnya yang terbaik, itu secara halusnya. Kurang beruntung dan malas belajar, itu secara kasarnya. Bersyukur masih bisa mengenyam pendidikan, tidak ada yang berbeda antara negeri dan swasta. Hanya nama akhiran negeri dengan swasta dan biaya uang kuliah tunggalnya saja yang berbeda. Lebih mahal swasta. Ya, merasa jadi beban orang tua. Beban negara. Beban dunia. Namun jangan salah, Universitas Batavia memiliki titel universitas swasta terbaik di tanah air. Universitas negeri lainnya saja kalah sebenarnya karena memiliki sistem pendidikan dan fasilitas yang berkualitas.

Kembali menyoal lika-liku kuliah penuh tugas, presentasi, kuis, dan proyek. Belum lagi kalau ikut organisasi. Rasanya ingin pinjam jurus seribu bayangannya Naruto. Kalau sudah terlalu lelah, pelampiasannya datang ke tempat kerja Aksa dari dulu semester dua sampai sekarang semester tujuh yang dihadapi dengan magang dan proposal penelitian.

Laki-laki berhidung mancung dengan tahi lalat di antara hidung dan matanya sebagai poin atensi paling menarik, beralis tebal, dan memiliki bibir ranum dengan sudut bibirnya yang menawan ketika tersenyum itu kini tengah sibuk dengan mesin pembuat kopi adalah sahabat Aletta sejak SMA. Dia kuliah menyambi kerja sebagai barista di salah satu kedai kopi setelah menolak paksaan kuliah di luar negeri dengan jurusan pilihan orang tuanya. Sekilas mungkin orang-orang berpikir ia bodoh menolak kesempatan emas, tetapi percuma kalau menjalani pilihan yang tidak diinginkan. Takutnya berhenti di tengah jalan. Justru, ia hebat mau bekerja keras dari nol sendiri tanpa hak istimewa orang tuanya yang terbilang lebih dari cukup. Namun membangkang kepada orang tua, tidak patut diacungi jempol meski pada akhirnya dibebaskan dengan syarat hidup mandiri.

Aletta menopangkan dagu sembari memandangi tindak-tanduk Aksa yang cekatan di balik meja bar. Mulai dari melayani pelanggan sampai meracik kopi. Sebelah sudut bibirnya terangkat ketika Aksa melempar senyuman manis pada salah satu gadis muda yang merupakan pelanggan yang kini tengah tersipu malu. Berani  bertaruh kalau jantung gadis itu seakan-akan mau melompat dari tempatnya. Siapa pun pasti mengakui Aksa memang tampan, itulah alasannya mengapa kafe tempat kerjanya ramai pengunjung. Selain nikmatnya rasa kopi yang membuat pelanggan puas, juga pemandangan wajah rupawan Aksa yang membuat para pelanggan wanita semakin puas. Namun bagi Aletta, ia tak begitu puas. Dia sudah bosan melihat wajah yang sama selama enam tahun, tapi tak ada lagi teman yang benar-benar teman selain pria bernama Aksa.

Ter-pak-sa.

Kembali Aletta menatap layar laptop yang menampilkan beragam artikel jurnal penelitian di salah satu situs. Netranya seolah-olah ingin membanting laptop, matanya pusing membaca setiap kalimat yang bertumpuk karena ukuran font-nya yang kecil. Tampak ia mengacak rambut panjangnya yang sedikit bergelombang, tak peduli orang lain lihat. Syukur-syukur tidak lihat karena mejanya berada di pojok.

"Orang gila dilarang ngopi di sini," celetuk suara lelaki familier yang bagi Aletta menyebalkan. Siapa lagi kalau bukan si barista penarik pelanggan wanita, Aksara Pratama.

"Rasis bener sama pelanggan. Orang gilanya juga bayar kopi, kok."

Dia terkekeh. Kalau perempuan lain pasti sudah meleleh, berbeda dengan Aletta yang ingin menempelengnya saat itu juga. Dia berusaha sabar menghadapi sikap menyebalkannya. Bagaimana bisa pertemanan ini masih bertahan enam tahun? Sudah ia bilang sebelumnya kalau ia tidak punya—yang benar-benar—teman. Aksa memang menyebalkan, tapi tetap jadi tempat ternyaman berkeluh kesah bagi Aletta.

Fate Mate Where stories live. Discover now