III ; better get out

146 17 5
                                    

rasa sakit yang membekas adalah rasa sakit yang diberikan dari orang terdekat dan tersayang.
________

Sebenarnya, Aletta tak ingin menunjukkan sisi kelemahannya di depan Raga. Terlebih lagi, mereka baru pertama kali bertemu. Gagal sudah baginya menarik kesan pertama terbaik untuk Raga. Tiba-tiba air matanya luruh begitu saja saat ayahnya mengirimkan pesan. Ia lagi-lagi tersakiti oleh orang-orang rumah yang seharusnya menjadi rumah baginya. Namun, ini sebaliknya.

Aletta juga enggan pulang, tapi keadaan memaksakan. Kini, Raga pun mengantarkannya pulang. Sesekali pemuda itu melirik ke samping memastikan Aletta sudah baik-baik saja setelah ia membiarkan sang puan menangis di dalam mobil sendirian, sedangkan ia di luar mobil atas permintaan sang puan. Ia menyanggupinya karena memang ia sendiri pun tak sanggup melihat wanita menangis di depannya meski bukan karena dia. Rasanya Raga ingin memeluknya erat, tetapi mereka baru pertama kali bertemu. Takutnya, Aletta risi.

Mobil hitam metalik pun terparkir di depan pintu gerbang cokelat yang menjulang tinggi. Benar-benar rumah yang terjaga privasinya. Terdengar helaan napas berat yang keluar dari mulut Aletta. Sempat Raga menoleh, ia tampak khawatir. Entah keberanian dari mana lengannya terulur mengelus pucuk kepala Aletta.

“Apa pun masalah lo, lo kuat, Ta.”

Aletta menoleh dan menatap tepat pada sepasang mata elang Raga. Tatapan sang pria begitu lembut dan kentara sekali ketulusannya.

Thanks, ya, Ga.”

Raga mengangguk. “Sekarang lo masuk dulu. Kalo ada apa-apa, bilang ke gue. Mau cerita juga boleh.”

Lagi-lagi, Aletta semakin jatuh hati pada sosok Raga. Ia percaya kalau love at first sight itu benar adanya.

***

Aletta mabuk saat tengah malam di dalam kamar tidurnya. Beberapa botol minuman alkohol tergeletak di lantai. Saat terbangun di atas lantai yang dingin, kepalanya terasa ditimpa beban barbel. Pusing bukan main. Jika boleh, ia ingin memukulkan kepalanya ke tembok sampai pecah. Persetan. Ia sudah terlalu muak hidup. Percuma digelontori harta berlimpah jika kasih sayang orang tua tidak pernah diterima secuil pun. Yang ia terima hanyalah makian dan pukulan.

Ia mengecek ponsel yang tergeletak di sampingnya. Sinkron matanya membulat, kesadarannya tiba-tiba bangkit sepenuhnya ketika mendapatkan riwayat pesan tidak senonoh dan meracau tak jelas yang ia tujukan pada Raga. Gila. Aletta sudah gila. Entah harus di mana ia menaruh muka di depan Raga. Berharap ia takkan bertemu Raga lagi, tapi ia ingin terus tetap bertemu. Membayangkan hangatnya pelukan Raga yang suatu saat nanti akan mendekapnya ketika ia butuh. Membayangkan betapa manis bibirnya Raga lebih candu daripada wine. Membayangkan setiap belaian Raga serta mendengarkan suara beratnya di kala malam tiba di tengah derasnya hujan di luar sana guna menghangatkan satu sama lain. Oke, yang terakhir terlalu vulgar dan berlebihan. Aletta memang sudah gila.

Lekas ia melangkah gontai keluar dari kamar tidurnya guna menenggak air mineral di dapur sana. Meski sebenarnya ia terlalu malas, tapi perlu. Tak hanya malas melangkah, tapi malas bertemu orang-orang yang tak ingin ditemui di dalam rumah, menyebutkan nama dan embel-embelnya saja terlalu malas.

Baru saja ia katakan malas bertemu, sialnya Tuhan tidak mengabulkan permohonannya. Sosok berwajah tegas dan dingin yang tak ingin Aletta temui ada di meja makan bersama wanita perebut posisi ibunya di dalam rumah. Meski ia berusaha tak menghiraukan, tetap saja ayahnya itu bersuara.

“Aletta, kamu habis minum-minum di mana semalam?”

Tak ada jawaban. Aletta tak mengindahkan.

“Aletta, dengar Papi bicara atau tidak?”

Fate Mate Where stories live. Discover now