VI ; expressive writing

133 16 5
                                    

“hilang. semuanya hilang. aku tidak mau bangun dari mimpi indah.” — Aletta.
_________

Sudah menunjukkan pukul 12 malam, dua sejoli tanpa ikatan jelas maupun semu masih asyik menonton film di ruang tengah apartemen Raga. Satu jam yang lalu, Aletta meminta waktu kepada Raga untuknya lewat pesan singkat. Entah mengapa dalam waktu singkat, ia menganggap jika Raga adalah 'rumah'nya. Hanya bersamanya ia tenang, segala pikiran kalut perlahan lupa. Tak ada beban begitu saja. Biasanya ia mencurahkan segala yang menjadi beban kepada Raga seolah-olah memang tengah sesi konseling, atau mungkin lebih tepatnya malah seperti kekasih perempuan bercerita pada kekasih lelakinya. Padahal kenyataan pahitnya, tidak ada ikatan pasti di antara mereka berdua selain hanya kenalan dari aplikasi kencan, lalu bertahap menjadi teman, dan makin naik menjadi tetangga apartemen.

Mereka berbagi satu selimut yang sama guna menghangatkan tubuh. Sejujurnya, Aletta sedari tadi tidak begitu fokus pada film yang ditayangkan. Pikirannya entah melayang ke mana, sebab ia belum bercerita apapun karena kali ini ia anggap terlalu sering membebani Raga. Sementara itu, Raga tertawa asyik sendiri menyaksikan film komedi yang diputar. Aletta benar-benar tidak berekspresi. Dari sudut mata Raga ia menangkap gelagat Aletta yang menatap kosong. Alhasil, Raga mematikan televisi. Kontan Aletta pun menoleh.

“Kenapa dimatiin?”

“Lo juga gak nonton, gak menikmatinya. Pikiran lo entah ke mana, tatapan lo kosong, Ta.”

Aletta hanya bisa bungkam. Ia tak bisa mengelak sebab semua yang dikatakan Raga benar.

“Sini, lihat gue dulu, boleh?” Raga meraih sebelah pipi gembil putih Aletta. Sang empu pun menurut, ia menatap dalam manik jelaga Raga yang kini menyipit sinkron dengan birai senyum yang terpatri. “Mau cerita nggak?”

Padahal sudah diberi kesempatan, tapi Aletta menyia-nyiakan kesempatan karena alasan takut membebani Raga. Ia menggeleng. Namun, Raga tahu jika Aletta tampak ragu bercerita. Pemuda itu menarik napas dan menghembuskannya. Satu pikiran terlintas dalam benaknya. “Biar lo gak kalut tiap hari, mau gue bantu gak selain cerita langsung ke gue?”

“Apa?”

Aletta dan Raga saling menatap dalam, tampak mempelajari satu sama lain. Senyum simpul tercetak di wajah Raga dan berkata, “Tiap hari atau tiap lo merasa down atau setiap masalah yang lo hadapi datang, selain gambar kupu-kupu,  untuk meluapkan emosi lo, gimana kalau lo tulis apa yang lo rasakan pada saat itu juga pada sebuah tulisan. Ini namanya disebut terapi dengan expressive writing di mana lo mengekspresikan apa yang lo rasakan baik itu senang, sedih, marah, atau kecewa. Ya ... gak beda jauh sama buku diary juga, sih. Gak tahu bakal bantu lo atau enggak, tapi apa salahnya mencoba, kan?” Raga menatap Aletta penuh harap dan meyakinkan. “Tulis itu di buku jurnal lo. Gue harap itu bisa membantu.”

Aletta tampak berpikir. “Tapi gue lebih nyaman cerita sama lo langsung.”

“Kalau lo mau cerita langsung juga boleh banget, tapi proses lo akan lebih terlihat dalam bentuk tulisan. Kenapa? Karena ada bukti fisiknya, Ta. Gue jamin ini membantu.” Aletta masih terus menimbang keputusannya dengan menggigit bibir bawahnya. Raga yang melihatnya menyentuh bibir bawah Aletta menyuruh untuk tidak menggigit bibir dengan gelengan juga senyuman lembut yang mampu menghipnotis sang puan pada saat itu juga. “Gini aja, gue akan cek tulisan lo secara berkala sambil lo cerita juga.”

“Malu.”

“Kenapa malu, hm?” Raga mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Aletta sampai dahi mereka hampir saling bersentuhan. “Bisa dicoba sekali aja, ya?”

“Ini semacam konseling?”

Kind of.” Raga kali ini semakin mendekat dan berbisik di samping telinga Aletta, “Konseling khusus untuk klien tercantik Raga.”

Chegaste ao fim dos capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Jan 04 ⏰

Adiciona esta história à tua Biblioteca para receberes notificações de novos capítulos!

Fate Mate Onde as histórias ganham vida. Descobre agora