prolog

5K 121 8
                                    

Aku sudah berdiri hampir setengah jam di pintu keluar bandara, menunggu seseorang yang belum pernah kujumpai sebelumnya. Seharusnya dia adalah kakakku walau hubungan kakak adik kami tidak ada ikatan sedarah, kami berasal dari rahim berbeda, berasal dari ayah yang berbeda. Ikatan antara ayah dan ibu kami yang membuat kami akhirnya punya ikatan itu.

Rasanya sangat deg-degan menunggu kedatangannya, apakah aku terlalu excited hingga membuatku segugup ini? entahlah, aku juga tak mengerti apa yang sedang kurasakan.

Setengah jam berlalu, akhirnya seorang pria yang bisa kusamakan dari banyak potret yang kulihat di sosial medianya yang bisa kupastikan dialah orang yang kutunggu. Aku masih belum berani mendekatinya, aku masih larut dalam kediamanku yang entah apakah sedang membeku atau hanya sedang mengagumi sosoknya. Dia terlihat seperti sosok idola yang sempurna, sangat jauh dari apa yang ku imaginasikan hanya dengan melihat sosoknya di foto.

"Alden?" ia mengenaliku terlebih dahulu, menyapaku yang membuatku terlonjat kaget.

"oh eng, iya kak. Kak Keenan yah." Balasku kembali memastikan dia adalah sosok yang kutunggu itu.

"iya, aku Keenan. Sorry yah membuatmu nunggu lama."

"enggak apa-apa kak." Balasku kembali. "biar aku bantu kak." Lanjutku menawarkan bantuan membawa barang bawaannya yang sebenarnya tak seberapa.

"gak usah, gak banyak kok." Jawabnya. Kami kemudian berjalan menuju parkiran yang lumayan jauh dari pintu kedatangan.

"kak Keenan yang bawa mobil yah." Ucapku memberikan kunci mobil kepadanya.

"kamu aja. Aku sudah cukup lama tidak pulang, bisa saja aku sudah lupa jalan." Balasnya yang walau sebenarnya tidak masuk akal tetapi kuanggap itu masuk akal.

"kita mau kemana nih kak? Pulang ke rumah ato langsung ke apartemen?" tanyaku saat kami telah di dalam mobil. Rumah yang kumaksud adalah rumah ibu kak Keenan dan ayah aku, sedang apartemen adalah tempat aku tinggal sekarang dan juga tempat tinggal kak Keenan sebelum ia kuliah ke luar negeri.

"ke apartemen aja. Aku mau best rest dulu. Kalo langsung pulang ke rumah, orang rumah pasti akan heboh." Jawabnya mendorong sandaran jok ke belakang hingga 45 derajat. Aku sempat meliriknya, terlihat banyak beban di wajahnya. Entah beban apa itu, aku tak begitu tahu tentang kehidupannya bahkan kehidupan keluarga kami. Aku kemudian memilih diam, membiarkan dia istirahat hingga kami tiba di apartemen yang letaknya tak jauh dari kampus aku.

"kamu apa kabar?" tanyanya kemudian setelah memejamkan matanya cukup lama.

"baik kak." Jawabku seperlunya. Apartemen kami sudah terlihat di depan seharusnya obrolan kami ini tidak akan panjang lagi.

Aku tahu kemana arahnya pertanyaan dia, caranya dia menatapku kurasa jawaban aku tak sepenuhnya membuat dia puas.

"yah ginilah keluarga kita, terlalu banyak tuntutan." Ucapnya kemudian yang entah apakah ini adalah keluh kesahnya. Aku membalasnya hanya sekedar tersenyum.

Sebelum aku sampai di apartemen, sebuah panggilan masuk di ponselku, panggilan dari seorang wanita yang sebarusnya ku panggil mama tetapi aku lebih nyaman memanggilnya tante.

"halo tante." Sapaku menerima panggilan masuk itu.

("halo Alden. Abang udah tiba?")

"iya tante, kak Keenan udah tiba."

("pulang ke rumah kan?")

"kita langsung balik ke apartemen tante..."

("oh yah udah, biarkan abang istirahat dulu. Entar suruh ke rumah yah. Ato Alden yang antar. Bisa kan?")

"bisa tante."

("oke, makasih yah Alden. Kayaknya adek kamu juga ke apartemen kalian deh.")

......

Saat panggilan itu berakhir panggilan lainnya kembali masuk ke ponselku, dari lelaki yang punya hubungan darah denganku. dia adikku, Tobi.

"kak Alden, dimana?" tanyanya begitu aku menerima panggilan itu.

"kakak udah dekat." Jawabku.

"Abang sama kak Alden kan?"

"iya-iya, entar lagi kita sampe kok."

Setelah panggilan itu berakhir, Kak Keenan menatapku, senyumnya terlihat merekah yang entah kuartikan sebagai apa, namun akhirnya yang ia pikirkan ia keluarkan juga.

"kamu nampaknya memang baik-baik saja di keluarga ini." ucapnya mengulurkan tangan mengacak-acak rambutku.

DUG-DUGDUG.... Apa-apaan ini, kenapa jantungku sedegup ini? sadar Alden, dia adalah kakakmu. Bukankah hubungan seperti ini telah membuatmu trauma?

"oh iya, kamu kenapa gak manggil aku abang? Kamu kan adekku juga." ucapnya yang kujawab hanya dengan tersenyum nyengir. Di keluarga, Kak Keenan memang dipanggil abang, sama seperti mamanya dan Tobi memanggilnya tadi.

"aku akan senang kalo kamu juga memanggilku abang." Lanjutnya.

"baik, bang." Balasku. Sayangnya itu hanya dalam hatiku, aku masih terlalu canggung memanggilnya abang, sama seperti aku memanggil tante ke mamanya.

Akhirnya, kami telah sampai di apartemen, Tobi terlalu semangat hingga menunggu kami di basement gedung bertingkat itu. ia mengikuti mobil saat aku memarkirnya dan saat mesin mobil telah kumatikan, dengan semangatnya ia membuka pintu mobil dan menyambut kakaknya yang sudah dua tahun tak pernah pulang.

"Abangg....." ia terlalu histeris dan memeluk lelaki bertubuh jangkung itu. "adek rindu bang!" lanjutnya melompat di punggung lelaki itu bahkan saat kami naik ke unit apartemen kami, Tobi masih menggantung di punggung kak Keenan walau ia tak kecil lagi.

"bang, oleh-olehnya mana?" pintahnya saat kami telah berada di apartemen. Unit apartemen kami berada di lantai 19, ada 2 unit bedroom yang nantinya apartemen inilah yang akan menjadi tempat tinggal aku bersama dengan kak Keenan. Aku tak tahu sampai kapan Kak Keenan disini, apakah ia kembali ke luar negeri lagi? Atau mungkin akan tinggal bersama orang tua kami, atau kemungkinan lainnya, ia akan menikah mengingat usianya yang memang tak muda lagi. Umurnya sudah 27 tahun, sudah usia matang seharusnya untuk menikah, apalagi mamanya sudah terus menuntut ia untuk segera menikah dan kurasa itu menjadi alasan mengapa kak Keenan enggan pulang ke rumah.

"ada di koper." Jawab kak Keenan. Keduanya kemudian masuk ke kamar, ke master bedroom yang memang itu adalah kamar kak Keenan. Semenjak aku pindah ke apartemen ini, aku memang tak menempati kamar itu walau barang-barang kak Keenan tak banyak lagi di kamar itu. aku tetap memilih kamar lainnya yang ukurannya tentu saja lebih kecil.

"Lden..." panggil kak Keenan. Caranya memanggilku, tiba-tiba mengingatkanku dengan Abi, sudah lama aku tak pernah pulang ke kampung Abi.

"iya kak." Jawabku dari luar. Aku tak cukup leluasa untuk masuk begitu saja ke kamarnya. Menurutku itu ruang privatnya dan aku masih orang lain untuk dia.

"ini ada oleh-oleh untuk kamu." Balasnya dari dalam, kak Keenan ternyata cukup menganggapku walau aku ini hanyalah orang luar yang tiba-tiba masuk ke keluarganya.

"sini!!!" panggilnya lagi yang mau tak mau aku masuk ke kamar itu.

Langkahku sempat terhenti saat melihat kondisi kak Keenan sekarang, ia hanya mengenakan singlet hingga terlihat lengannya yang kekar. Ada sebuah kalung dengan liontin bulat berwarna biru melingkar di lehernya.

Aku berusaha bersikap biasa, melangkah masuk ke kamar itu dan menerima buah tangan pemberian darinya. Sepatu dari brand ternama yang seharusnya ini harganya belasan juta.

"ukurannya pas kan?" tanyanya saat aku mengecek nomor sepatu itu.

"pas kak." Jawabku, dalam hatiku membatin, bagaimana ia tahu.

"aku yang ngasih tau." Ucap Tobi seolah tau apa yang ada di pikiranku.

Aku kemudian tersenyum, kemudian mengucapkan terima kasih atas pemberian ini. aku serasa terberkati, punya keluarga baru yang super baik seperti mereka. Mereka semua menerimaku tanpa pernah mengulik luka lama yang seharusnya itu adalah aib bagi mereka.


Step BrotherWhere stories live. Discover now