Sadar Diri

63 8 3
                                    

“Mana yang lain, New?” tanya Krist sambil mematikan mesin mobil Mazda2 berwarna merahnya di basement sebuah hotel.

Hotel Arterix, hotel bintang lima milik keluarga besar Argani dan semua orang tahu jika sang pemilik hotel tersebut,  Offian Jaferino Argani yang sedang mengadakan acara di club yang terletak di lantai paling atas gedung berlantai tujuh belas itu. Club yang bernama Arterix Skybar adalah club yang terkenal di kota yang mereka tinggali.

Club yang biasa didatangi orang berkantong tebal itu memiliki dua lantai dan bagian luarnya terdapat kolam renang berdinding kaca cukup tebal yang terletak ditepi gedung sehingga seolah-olah air kolam akan berjatuhan ke area bawah gedung.

Musik menggema di dance floor lantai satu saat ketiga pria itu memasuki club. Siulan ataupun godaan secara langsung terdengar dari posisi mereka berdiri

“Dimana si kuya itu sih?" tanya Gun setengah berteriak dihadapan New. Yang ditanya malah berjalan semakin kedalam area club. Gun dan Krist hanya bisa pasrah mengikuti sahabat mereka itu.

Mereka menaiki beberapa anak tangga menuju lantai dua,tempat yang lebih private. Sebuah balkon yang beratapkan kaca, ada beberapa pasang sofa dan meja yang diatasnya diisi berbagai macam botol minuman beralkohol. Di balkon itu cukup banyak orang yang sedang asik meliukkan tubuhnya, ada yang menonton penari berpakaian tipis menerawang atau sekedar duduk melihat ke arah dance floor dibawah sana seperti yang dilakukan ketiga pria tampan dihadapan mereka.

“Kalian kemana aja sih, kok baru datang?" tanya Singto kepada mereka bertiga.

Singto  Prasetya Sagara, anak seorang anggota Dewan dan juga pemilik tambang emas didaerah Papua. Pria berdarah Surabaya itu terlihat asyik meminum vodkanya seteguk demi seteguk.

Sebelahnya ada Off, sang empu acara malam ini. Pria itu terlihat beradu mulut dengan Gun, musuh bebuyutannya.

“New, sini. Ngapain bengong disana?” Tay terlihat tampan dengan kaus hitam tanpa kerah dan celana denimnya. Kacamata yang bertengger di hidungnya menambah kesan tampan pada pria itu. Ia berdiri dan menggiring tubuh New duduk di sofa bersamanya.

“Lo kok baru nyampe sih? Dan lo kok pakai pakaian ini?" tanya pria itu dengan nada yang sulit diartikan. Tay menatap tubuh sahabatnya dari atas kepala hingga ke bawah

“Loh emang gue salah pakai baju ini? Ini baru gue beli di American Apparel loh, lumayan harganya." jawab New menunjukan bajunya. Baju yang ia kenakan berupa kemeja satin ketat berwarna navy dan celana bahan ketat berwarna hitam.

“Lo nggak boleh kemana-mana, lo harus stay disamping gue." Pinta Tay yang langsung  New tolak mentah-mentah.

“Loh, kok gitu sih? Nggak bisa dong. Masa gue nggak boleh kemana-mana. Gue juga kan nggak banyak minum, gue nggak bakal macam-macam deh." Protes New.

Pria itu cemberut, dia mengerucutkan bibirnya dan merasa kesal dengan sikap Tay malam ini. Tay mendengus mendengar protes dari sahabatnya.

“New, lo yang nggak macam-macam. Tapi lihat orang-orang itu, mereka menatap lo dengan tatapan buas dan gue nggak suka." Jelasnya sedikit geram.

“Berarti lo juga dong?" tanya New penasaran, timbul rasa jail dibenaknya.

“Jelaslah, gue kan normal.”

Mendengar apa jawaban Tay, pria itu bersorak gembira didalam hati. Rencananya untuk mengetes pria itu berhasil.

“Loh Tay, kamu disini?" tanya seorang wanita dengan dress merah mengagetkan mereka berenam.

New sangat mengenal pria itu, pria yang pernah mengisi hati sahabatnya setengah tahun yang lalu.
“Kamu udah pulang, Mook?” tanya Tay. Mook mengambil duduk disamping Tay.

METANOIA • TAYNEW AUOù les histoires vivent. Découvrez maintenant