Simpang - 1

189 21 0
                                    

Vika menggerutu karena sejak tadi pesan yang ia kirimkan kepada Lita tak juga dibalas. Padahal pesan itu sudah ia kirim sejakk semalam. Status juga sedang online, apalagi yang ditunggu oleh perempuan itu tak juga membalas pesan Vika

Malah semakin lama, Vika makin tak sabar saja. Ia pencet tanda ponsel untuk memastikan bahwa manusia di seberang sana masih hidup, bukan sekedar ponselnya saja.

Rupanya memang setengah hidup, karena Lita mengangkat panggilannya pun harus menunggu tiga kali panggilan berulang.

"Halo, Vik masih boker ganggu aja sih."

"Kamu boker dari semalam? Aku udah kirim pesan dari semalam tapi kamu nggak ada respon. Kok kejam banget sih kamu gantungin perasaan kayak gini."

Di seberang sana Lita hanya mendesah. Lagi-lagi ia harus mendengar drama dari Vika.

"Mau gantung kek, mau dijemur kek, nggak ada hubungannya. Semalam aku udah tidur, tadi pagi buka aja tapi belum sempat bales udah mules." Lita beralasan dengan detail.

"Jadinya ini gimana, berangkat sekarang apa nanti?" tanya Vika langsung pada intinya daripada semakin basa-basi hari juga sudah semakin siang.

"Ya jadilah. Tapi kan aku butuh konsentrasi dulu buat nabung saham malah kamu gangguin. Tunggu aja di situ nanti aku jemput."

Wajah Vika pun semringah mendapati kepastian yang ia tunggu.

Ia dan Lita berencana pagi ini akan menuju toko kue langganannya  memesan kue tart yang akan ia persembahkan untuk ulang tahun Ramzi.

Laki-laki berlesung pipit dengan senyum menawan, idaman betina manapun itu adalah sumber kebahagiaan dan masa depan Vika. Tujuan hidupnya adalah meraih sakinah mawaddah dan rohmah bersama Ramzi. Membayangkannya saja ginjal Vika sudah bergetar merasakan hangatnya kebahagiaan rumah tangga mereka nanti.

Ramzi adalah teman masa kecil mereka. Ia dan Lita satu SD tapi saat SMP mereka bertiga berpisah. Lebih tepatnya Lita yang menjauh. Lita sekolah di luar kota untuk menemani neneknya yang sudah tua, sementara Ramzi dan Vika masih satu SMP bahkan sampai lulus SMA bersama.

Urusan kuliah sayangnya harus berpisah, pun dengan tempat kerja mereka yang berbeda haluan dan bidang. Hanya saja hati Vika masih sama, selalu sama dan akan tetap sama. Isinya hanya Ramzi seorang.

Berhubung Lita masuk siang dan Vika kerja pagi, maka dari itu Lita menjemput sahabatnya itu untuk mencari kue sambil diskusi kecil tentang bagaimana model kue yang akan mereka pilih. Kemudian baru Lita mengantarkan Vika sekalian kerja.

Vika lantas bersiap sambil menunggu kedatangan Lita. Selesai dengan baju kerja kemeja warna wardah dipadu dengan celana warna putih, ia siap berangkat mencari pundi rupiah.

"Sarapan dulu sebelum berangkat," kata ibunya yang melewati kamar Vika sambil membawa tas belanjaan hendak ke pasar.

"Siap, Bu," jawab Vika dari dalam kamar yang terbuka pintunya.

Vika ke dapur membuka tudung saji di mana sarapan yang dibuat ibunda tersayang—janda idaman tapi tidak mau juga dipersunting lelaki manapun— berada.

Baru juga melahap tiga sendok nasi telur ceplok dengan lalapan terong rebus juga sambal terasi, Lita sudah nyelonong masuk karena melihat pintu rumah terbuka lebar.

"Enak banget sarapan. Numpang dong!"

Lita melihat sarapan yang dimasak oleh ibu sahabatnya itu terlalu menggoda iman dan menggoda usus keriting, karena belum ada asupan apa pun selain air putih tadi pagi.

"Makan aja, paling juga nggak habis. Yang makanya cuma aku aja sama Ibu."

Lita mengambil piring dan bergabung dengan Vika, menyantap sarapan dengan penuh nikmat. Memanjakan perutnya yang sejak tadi berdendang Metallica.

***

Kue ulang tahun siap dipesan, nota juga sudah di tangan. Lita lekas mengantarkan Vika menuju tempat kerjanya. Vika sendiri bekerja sebagai customer service di perusahaan tekstil rumahan yang memproduksi baju perempuan dengan target pasar dari anak-anak hingga dewasa. Dijual secara online baik toko maupun sosial media secara live.

"Kamu segitunya sih naksir sama Ramzi. Padahal Ramzi aja nggak naksir kamu," komentar Lita saat mereka berdua di motor. Angin dan asap knalpot dari truk di depannya menerpa.

"Ya namanya juga usaha, bukan berarti Ramzi nggak naksir aku cuman hatinya aja belum terketuk pintu hidayah. Nanti juga dia tahu betapa solehahnya calon istri idaman bernama Avika ini. Tinggal tunggu waktu aja sih, sampai Ramzi benar-benar jatuh cinta sama aku."

"Emang yakin Ramzi bakal suka sama kamu. Dari dulu kayaknya kamu yang usaha banget buat deketin dia, tapi lebih banyak kamu yang tersakitin kan. Buktinya dia nggak ngerespon perasaan kamu sejauh ini."

Vika tersenyum jika mengingat bagaimana ia berusaha keras mencurahkan isi hati, perasaan dan segala usahanya untuk mendekati Ramzu dari kecil hingga dewasa. Vika yakin, tidak mungkin Ramzi hanya menganggapnya sebagai teman belaka. Pasti bakalan ada benih cinta yang tumbuh, hanya saja Ramzi malu mengakui. Kalau tidak ia yang bergerak duluan untuk memancing debaran hati Ramzi hanya untuknya, maka hubungan keduanya tidak akan berjalan maju.

Meskipun yang jalan hanya perasaan Vika saja. Semakin maju sampai-sampai lupa arah. Berkeliling memutar di sekitar Ramzi tanpa peduli arah mana yang benar.

"Emang boleh ya, Vik, seugal-ugalan itu kamu deketin Ramzi. Nggak capek emangnya? Laki-laki nggak cuma dia, masih banyak yang lain. Udah cukup masa mudamu cuma ngejar satu orang tanpa kepastian."

Vika meringis dan memamerkan giginya lewat spion agar ter-notif oleh pandangan mata Lita sebagai pengemudi motor yang berada di depan.

"Boleh dong. Aku bakalan terus ngejar biar ugal-ugalan pun nggak masalah, karena dapetin dia itu benar-benar worth it. Nggak kaleng-kaleng hasilnya."

Lita geleng-geleng kepala melihat semangat juang dari sahabatnya. Ia yang sudah temenan lama dengan Vika dan sudah ganti tiga kali pacar merasa kasihan, takut juga jika sejauh ini waktu dan usaha yang dikeluarkan oleh gadis itu tak akan sebanding dengan hasil yang didapat. Lita tahu Ramzi tidak pernah menaruh perasaan yang sama pada Vika dan Lita tahu hanya ada satu nama di hati Ramzi, itu bukan Vika.

Cinta memang buta. Rela melakukan apa pun untuk mendapatkan seseorang yang diidamkan. Sebagai sahabat, Lita hanya berharap Vika masih bisa sadar dengan akalnya, bahwa pengorbanan juga ada batas kapan harus berhenti.

___________

SIMPANG JALANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang