Simpang - 2

44 13 1
                                    

Dua ponsel berada di hadapan Vika. Satu miliknya pribadi yang baru saja membalas pesan dari Lita, dan satunya ponsel milik kantor yang memang diserahkan padanya sebagai customer service.

Menekuri beberapa chat yang masuk, Vika lantas mengecek stok barang yang ada di katalog. Ada beberapa konsumen yang meminta warna dan ukuran tapi tidak ready. Vika menawarkan warna lain dengan ukuran yang sama.

"Makan dulu, Vik."

Vika menoleh mendapati Ratna, teman se-profesinya yang baru datang sambil membawa segelas cup besar berisi es teh manis dan juga satu bungkus nasi.

"Iya, Mbak bentar lagi nih balas pesan dulu. Mbak Ratna makan dulu aja nggak papa."

Ratna pun mengangguk dan mulai duduk lantas membuka bungkus nasi. Menikmati makan siang sambil menggulir Instagram, meng-update kabar terbaru dari Ji Chang Wook.

"Nah selesai sudah nih. Mbak, aku beli makan dulu ya," pamit Vika sambil membereskan mejanya.

Sambil berjalan menuju warung tak jauh dari kantor, Vika membuka beberapa sosial medianya. Tak ada yang menarik, ia buka aplikasi Whatsapp dan melihat status dari teman-teman yang terdaftar dalam list kontaknya.

Status yang paling excited ia buka adalah milik Ramzi tentunya. Laki-laki itu enam belas menit lalu mengunggah postingan foto segelas kopi yang biasa dijual di Konoha Mart.

Agar terlihat sama dengan Ramzi, Vika pun berjalan cepat berbelok arah. a
Awalnya ia hendak ke warung jadi berbelok dulu ke Konoha Mart. Toko dengan label warna biru itu menjadi tujuan utamanya terlebih dulu. Kemudian ia pesan kopi yang sama dengan Ramzi, baru setelahnya mengantri makanan di warung. Tak lupa ia mengambil foto di depan meja Konoha Mart dengan caption

Sehati dengan kopi.

Melihat postingannya sendiri saja Vika sudah girang apalagi saat Ramzi melihat statusnya. Makin berbunga dan terbang ke mana-mana ginjalnya.

Makan siang dengan kopi sebenarnya tidak cocok untuknya, karena jujur ia tidak pecinta kopi. Hanya pecinta laki-laki bernama Ramzi.

***

Senja menyapa saat Vika memesan ojek online untuk mengantarnya pulang. Tadi ia berangkat bersama Lita, pada akhirnya ia tidak membawa motor untuk bekerja. Sesekali tak usah repot menyetir, toh ada Mas ojek selalu siap mengantarnya kapan pun.

Tujuannya tidak ke rumah, melainkan ia mampir dulu ke cafe milik Ramzi. Di sanalah hari-hari Vika dihabiskan sepulang kerja. Hampir lima hari dalam sepekan ia datang ke sana meskipun hanya menikmati air mineral dingin atau sepotong kue dan sepiring kentang goreng. Hanya dengan mendatangi tempat usaha Ramzi, rasa lelahnya sirna.

Padahal Ramzi punya pekerjaan lain. Ia adalah karyawan bank, namun punya usaha sampingan membuka cafe kecil yang berada di dekat kampus. Memang tak setiap hari Ramzi datang apalagi di jam sore seperti ini. Hanya saat akhir pekan Ramzi pasti menghabiskan waktu di cafe miliknya. Saat itulah Vika akan mengajak Lita menghabiskan akhir pekan di tempat tersebut.

Vika memesan cabe tahu garam dan air mineral. Sengaja ia tidak mau makan berat karena tahu ibunya di rumah pasti sudah masak untuk dirinya. Tinggal berdua sebagai anak tunggal dan yatim memang membuat Vika kesepian. Tapi ia juga sadar ibunya lebih kesepian lagi jika ia tidak pulang dan menikmati hasil jerih payah masakan untuknya.

"Vika!" sapa Rully, pegawai Ramzi yang merupakan karyawan paling lama.

Laki-laki itu mendekat dan menarik kursi di depan Vika. Duduk dengan nampan yang ia letakkan di meja, sepertinya Rully baru saja mengantarkan pesanan kepada pelanggan di meja depan.

"Malah duduk sini, Rul. Emangnya lagi senggang?" tanya Avika mengedarkan pandangan pada pengunjung cafe yang kebanyakan mahasiswa dan juga anak sekolah, terlihat dari penampilannya.

"Udah semua kok aku layanin. Kamu udah pesen belum?"

Vika mengangguk. "Udah. Cabe tahu garem aja sama nih air putih," jawab Vika mengangkat air mineral yang sudah diantar duluan.

"Cuma tahu aja nggak mau makan yang berat?"

Vika menggeleng. "Nggak ah, berat-berat ntar nggak ada yang kuat gendong aku."

Ruly tertawa. "BIsa aja colokan kompor."

"Iya kan emang gitu. Ntar kalau aku makan nasi di sini, di rumah siapa yang makan masakan emakku. Kasihan Emak udah masak sampai keringetan dari pagi."

"Iya deh iya. Betewe, kamu ingat kan kalau Ramzi bentar lagi ulang tahun?"

Vika mengangguk. "Iya. Kalian mau adain acara apa bikin surprise gitu?"

"Kalau kita sih karyawan pasti ngasih kejutan. Cuman kamu tahu sendiri kan bos nggak suka rame."

Vika mengangguk membenarkan. Ramzi tidak suka keramaian, makanya saat sekolah dulu Ramzi suka menyendiri di taman belakang mendengarkan musik. Meski begitu Ramzi aktif organisasi.

"Ntar kamu datang ya sama Lita. Kita mau bikin surprise-nya beda kayak yang tahun lalu."

Vika meneguk minumannya sambil melototkan mata, merasa tertarik dengan yang akan diucapkan oleh Ruly.

"Mau bikin acara apa emang. Tahun kan kalian ngasih kejutan di sini pas rame orang, jadi semuanya ikut kasih ucapan padahal belum jamnya." Vika mengingatkan kejutan tahun lalu.

Rully menoleh kanan kiri memastikan suaranya tidak akan terdengar oleh karyawan lain atau siapa tahu terekam dalam CCTV yang ada di pojok.

"Kita kasih ucapannya langsung di rumah pas Bos lagi tidur. Soalnya kan ulang tahunnya bukan weekend. Cafe udah tutup, kalau tengah malam Bos juga pasti udah pulang. Mau kayak kemaren Bos kan nggak suka rame. Masa sama juga kan gak kreatif."

"Jadi nanti karyawan semua pada datang ke rumahnya dong?"

Ruly mengangguk. "Iya, aku udah bilang ke Tante kok mau ngerepotin datang malam-malam."

"Aku boleh ikut sama Lita?"

"Ya bolehlah kamu kan temennya Bos juga. Kalian teman dari bocah sampai harusnya sekarang udah bikin bocah. Pokoknya kalian berdua wajib ikut."

Vika girang. Tidak setiap hari ia bisa datang ke rumah Ramzi apalagi nanti ia bisa ikut masuk ke kamar laki-laki itu. Kamar yang terakhir kali didatangi saat masih SMP karena mengembalikan buku yang ia pinjam.

"Ya udah ntar kabarin aja ya. Aku udah siapin kue juga sih sebenarnya nanti barengan aja kalau mau ngasih surprisenya."

"Siap, nanti aku kabarin. Jangan lupa ajak Lita loh."

Vika seolah paham dengan kode itu. "Iya iya tahu yang diarepin tuh Lita bukan aku."

Ruly jadi malu karena memang desas-desus dirinya naksir Lita sudah diketahui semua yang ada di cafe ini. Hanya saja ia belum berani menyatakan perasaan. Takutnya jika ditolak hubungan mereka nanti akan renggang. Padahal Lita sama dengan Vika, sering datang ke cafe dan mereka pun akan sering terus bertemu. Jika ditolak, apa tidak canggung nantinya.

Maka dari itu biarlah Ruly menahan diri untuk menyatakan perasaannya. Cukup mengagumi dan membantu perempuan itu jika butuh sesuatu. Hitung-hitung sebagai love language yang bisa ia berikan untuk gadis pujannya.

"Nanti ada satu orang lagi sih yang mau gabung. Udah aku kabarin, cuma belum ada jawaban karena kita ganti rencana."

"Siapa emang yang mau gabung lagi?" kepo Vika

"Siapa ya namanya lupa. Ntar lah juga ketemu kalau dia datang."

___________

SIMPANG JALANOnde as histórias ganham vida. Descobre agora