Bab 20

401 45 26
                                    

"Dayita." Victoria mendorong pintu kamar Dayita hingga terbuka. Wanita itu tak mau repot mengetuk dulu, langsung saja masuk.

Didapatinya si gadis sudah berbaring dengan mata terpejam. Wanita itu berdecak.

"Jam segini sudah tidur? Bayi kamu, ya? Bangun-bangun."

Victoria menarik tangan Dayita hingga gadis itu duduk. Didengarnya Dayi berdecak malas, ia mengulum senyum.

"Tante memangnya belum ngantuk? Apa enggak capek seharian muter-muter mal?"

"Ini baru jam tujuh. Kamu mau tidur, tidak makan dulu?"

Dayita menggeleng. Ia menerima uluran sisir yang Victoria beri. Matanya yang sudah kecil menyipit bingung.

"Tolong sisirkan rambutku." Victoria duduk di ranjang, kemudian membelakangi si gadis.

Meski kesal tak izinkan tidur, Dayita tidak menolak. Ia tetap menyisir rambut setengkuk milik Victoria. Tak butuh lama agar rambut ibunya Janu itu rapi. Setelahnya, Dayi malah disuruh membelakangi.

"Aku mana suka utang budi. Aku juga harus sisirkan rambut kamu." Wanita menyisir rambut sepunggung Dayita lembut. "Rambutmu ini lurus asli atau tidak?"

"Asli," gumam Dayi pelan. Sesekali matanya sudah tertutup karena mengantuk. "Tante, sisirnya masih lama?"

Dayita tak menunggu dijawab. Gadis itu langsung merebahkan punggung, bersandar pada dada Victoria.

"Aku ngantuk, Tante. Mau tidur." Menyamankan kepala di bahu wanita itu, Dayi memejamkan mata. Bibirnya mengulas senyum karena hangat yang membuat nyaman.

"Dasar tukang tidur. Kamu pasti bisa tidur di hutan sekalipun, 'kan? Di segala tempat rebahan terus." Mengomel, tetapi Victoria tak mendorong Dayita menjauh. Ia malah meletakkan sisir, kemudian mengusapi kepala gadis itu.

"Aku berat, enggak, Tante?"

"Beratlah."

Tersenyum simpul, Dayita mendorong Victoria hingga berbaring, lalu ia juga melakukan hal sama. Dayi menghapus jarak, ia meringkuk tepat di samping Victoria, memeluk lengan wanita itu erat.

"Kepalaku, Tante? Enggak mau diusap-usap lagi?" Mendongak, Dayita tersenyum penuh permintaan.

Victoria menghela napas, sok terdengar tidak suka. Namun, tangannya segera membelai kepala Dayita lagi. Gadis di pelukannya tertawa pelan, wanita itu merasa hatinya menghangat.

"Aku enggak mau diajak belanja lagi besok-besok," tutur Dayi terus terang. "Aku capek. Baru seminggu di sini, bajuku udah nambah tiga lemari gara-gara Tante."

"Tidak suka? Jual lagi saja," jawab ibunya Janu santai.

"Siapa yang enggak suka. Aku cuma sungkan, takut ngerepotin. Kalau Tante mamaku, baru masuk akal habisin uang sebanyak itu untukku."

Dayita tersenyum sedih. Ia sebenarnya bingung haruskah sedih atau senang. Tinggal bersama Victoria membuatnya merasa punya ibu. Walau kerap mengatakan hal aneh dan blak-blakkan, tetapi jelas ibunya Janu ini penuh kasih sayang.

Waktu akan pindah ke sini, Victoria membayar orang untuk mengecat ulang dinding kamar yang akan ia tempati. Mengganti warna seprei, selimut dan sarung bantal sesuai yang Dayi mau. Tiap hari ada pelayan yang menanyai Dayi ingin makan apa.

Ibunya Jaris itu juga membelikannya banyak barang. Sepatu, sandal rumah, kaus kaki lucu, jepit rambut, dan pakaian yang harganya terlalu mahal untuk disebut sumbangan untuk seorang tunawisma.

Di atas semua itu, Dayi merasa sangat disayang oleh Victoria. Ia bisa maklum sebenarnya. Mungkin, Victoria begitu karena tak punya anak perempuan. Namun, tetap saja rasanya sedih mengingat ia tak pernah mendapat perlakuan begini dari Rosa, ibu kandungnya sendiri.

Beautiful Dayita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang