Chapter 30

3.2K 242 12
                                    

Saat mereka sampai di kamar, Bagas segera menutup pintu setelah meletakkan istrinya di atas ranjang. Jujur, ia sudah tidak memiliki muka untuk kembali ke bawah.

"Mas Om apa-apaan sih! Aku lapar tahu!" Ziva merasa kesal dengan sikap suaminya. Perutnya sangat meronta, tapi Bagas malah kembali mengajaknya ke kamar. Padahal ia sudah susah-susah turun tadi.

Bagas masih menempelkan kepalanya pada pintu. Seakan seluruh darahnya di pompa menuju otak, ia harus menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum bicara.

"Mas Om!" jerit Ziva kesal karena tidak dihiraukan oleh sang suami.

Beberapa saat Ziva masih tidak dihiraukan, Bagas sama sekali tidak bicara. Suaminya itu hanya terdiam dan dari tadi menempelkan dahinya di pintu saja.

"Mas Om dengar aku tidak sih?" geram Ziva kesal.

"Aku laper Mas Om!"

"Baby, bisa kamu diam?"

Ziva terkejut mendengar ucapan suaminya. Walau tidak dengan nada yang kasar, membentak, atau dingin. Namun Bagas belum pernah mengatakan kata seperti itu.

"Tapi aku lapar!" Ziva tetap keukeh, karena perutnya memang benar-benar meronta saat ini.

"Sebentar saja, kamu dengarkan aku." Mengangkat kepalanya, Bagas akhirnya berbalik dan menoleh ke arah Ziva. Di wajahnya tidak ada raut kemarahan, malah pria itu tersenyum kecil.

Mendengar itu Ziva menjadi terdiam, ia kemudian melihat suaminya mendekat. Bagas duduk di depannya, di atas kasur dengan perlahan. Kemudian ia melihat pria itu menghela nafas sebelum berbicara.

"Ada satu yang ingin aku tekankan di sini Baby." Bagas memulai pembicaraan dengan serius, tidak ada raut kemarahan di sana. Namun entah kenapa, karena belum pernah melihat suaminya seperti ini, Ziva takut.

"Mulai sekarang, tidak. Mulai saya tidur di kamar ini, seharusnya apa yang terjadi di ruangan ini adalah rahasia."

Ziva masih menunduk namun mengangguk-angguk, Bagas tidak tahu apa gadis itu mendengarkan dengan baik atau tidak. Karena tipe Ziva ini, dinasihati, didengarkan. Namun tidak diamalkan.

"Baby, kamu dengar aku?" tanya Bagas dengan nada yang lebih tegas.

'Ish, kok malah nyeremin,' batin Ziva ingin menangis.

"Baby."

"Iya, iya dengerin kok," balas Ziva cepat.

"Angkat kepala kamu." Bagas mengarahkan kedua tangannya dan diletakkannya di kedua pipi Ziva. Dengan lembut ia mengangkatnya agar sang istri menghadap padanya.

"Kamu kenapa menangis?" tanya Bagas terkejut saat melihat air mata membasahi pipi Ziva. Dengan segera ia mengusapnya secara hati-hati.

"Mas Om nyeremin..." tangis Ziva akhirnya pecah dan Bagas hanya bisa tersenyum kecil.

"Sudah-sudah, cup cup, jangan menangis istriku." Bagas memeluk Ziva dan menenangkannya dengan lembut, setelah agak reda akhirnya ia kembali melepaskan pelukannya.

"Mas tidak marah, hanya menasihati kamu. Kamu dengar ya." Ia kembali menaruh tangannya di kedua pipi Ziva dan mengangkatnya agar mereka saling berhadapan.

"Mulai sekarang, sampai kapan pun. Apa yang terjadi di ruangan, di kamar ini, hanya rahasia kita berdua. Ini adalah aib, dan tidak boleh disebarkan pada siapa pun. Kamu paham?"

Ziva mengangguk-angguk.

Hal itu tampak lucu di mata Bagas, kemudian ia memeluk kembali istrinya. 

"Janji?" tanya Bagas dan Ziva masih mengangguk-angguk. "Jawab Baby, ini pertanyaan bukan pernyataan."

Masya Allah & AstaghfirullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang