13

595 101 12
                                    

---

Jantung Vanka langsung mencelos menatap kendaraan yang ditunjukkan oleh Bumi. Sebuah motor vespa berwarna hitam yang sering ia lihat dijalanan. Ia tidak bisa mengeluarkan suara untuk mengatakan apa yang saat ini ada dalam kepalanya.

Bumi membuka jok motor, mengeluarkan sebuah helm hitam dari dalamnya sebelum menutup kembali. Ia bergerak mendekat pada Vanka untuk mengulurkan benda itu.

Namun Vanka masih bergeming, kepalanya lalu menunduk. Menatapi kedua ujung sepatunya.

"Saya akan pelan-pelan. Saya jamin kamu akan baik-baik aja."

Bukan itu yang ditakutkan Vanka.

"Ak--"suaranya terdengar tercekat."--aku belum pernah."

Mata Bumi membola. Ia menganga sesaat sebelum meringis pelan. Mengerti arti keraguan Vanka bukanlah soal kakinya namun karena pengalaman minim gadis itu.

Laki-laki itu tersenyum menenangkan. Ia lalu memakaikan helm pada kepala Vanka. Memasang pengait di bawah dagunya sebelum membawa pandangan gadis itu mendongak.

Tatapannya yang meneduhkan membuat perasaan Vanka lebih tenang. Ditatap terus seperti itu akhirnya membuat senyum terbit di bibir Vanka.

"Kamu percaya saya?"tanyanya lembut. Vanka melirik motor yang ada di samping mereka sebelum mengangguk pelan.

"Saya jamin. Pengalaman pertama ini gak akan kamu lupain seumur hidup."

Bumi lalu menuntun Vanka untuk naik terlebih dahulu. Memastikan gadis itu nyaman di jok penumpang. Sebelum ia naik di bagian depan dan mulai menghidupkan kendaraan tersebut.

"Kamu bisa pegangan ke jaket saya."

Tangan Vanka yang gemetar lalu mencengkeram erat di kiri dan kanan jaket Bumi. Membiarkan laki-laki itu mulai melajukan motornya. Sesuai janji, dengan pelan.

Angin malam mulai menerpa wajah Vanka. Membelainya lembut membuat senyum di wajahnya perlahan terbit. Matanya tidak henti melihat kiri dan kanan, menatap pada bangunan-bangunan yang ada di sepanjang jalan. Memperhatikan lampu-lampu jalan yang berpendar terang.

Bumi ingin mengajaknya mengobrol, namun ketika ia mengintip dari spion mulutnya tak kuasa terbuka. Vanka terlihat luar biasa bersinar. Cantik dan tampak sangat bahagia dari senyumnya yang terus melebar. Berbagai macam ekspresi muncul dari wajah yang biasa terlihat datar itu.

Ketika berhenti di sebuah lampu merah, Bumi menolehkan kepala. Melirik Vanka yang kini tersenyum menatapi beberapa musisi jalanan dengan alat musik seadanya.

Gadis itu mendekatkan tubuh pada Bumi. Menempelkan dagunya agar suaranya terdengar diantara riuhnya jalanan.

"Itu alat musiknya dibikin sendiri?"

Kedekatan wajah mereka membuat Bumi menelan ludah. Ini kali pertama Vanka melakukan kontak fisik dengannya, dan entah kenapa justru membuatnya semakin berdebar. Bersusah payah ia hanya menjawab dengan anggukan.

Ketika Vanka akan menarik kembali wajahnya, tangan Bumi bergerak lebih cepat. Ia meraih jemari Vanka yang kiri dan kanan lalu menumpukkan di atas permukaan perutnya.

"Biar lebih aman,"ucapnya pelan. Vanka lalu dengan gerakan kaku menyatukan kedua tangannya. Melingkarkan lengan di sepanjang tubuh Bumi lalu kembali menyandarkan dagunya pada bahu laki-laki itu.

Senyum di bibir Bumi kembali terbit. Ia memegang kendali vespa dengan dada yang mengembang. Mengintip wajah Vanka yang bersemu merah dari spion.

---

Setelah berkendara cukup lama, Bumi menepikan vespanya di sebuah tenda yang berada di tikungan jalan. Turun terlebih dahulu sebelum membantu Vanka ikut turun.

Ia lalu melepaskan helmnya dengan cepat. Berbalik menghadap Vanka untuk melepaskan pengait yang sedang berusaha dilepaskan gadis itu. Wajahnya yang teramat serius membuat Bumi tersenyum.

Setelah helm terlepas, Bumi menaruhnya di atas motor. Membiarkan Vanka merapikan rambutnya yang agak berantakan sebelum mengajaknya mendekar pada tenda yang ramai pengunjung tersebut.

"Kamu mau ikut antri atau tunggu aja?"

"Mau ikut antri."

"Oke. Sini jangan jauh-jauh."

Bumi lalu membawa Vanka berdiri di hadapannya. Sangat dekat hingga bagian belakang tubuh gadis itu hampir menempel pada tubuh depan Bumi. Apalagi sesekali kedua tangan Bumi memegangi bahunya jika harus bergerak maju di antrian atau melindunginya dari orang-orang yang berlalu lalang.

Hingga akhirnya sampai pada giliran mereka, Vanka tampak sangat clueless hingga Bumi mengambil inisiatif untuk memesankan menu yang sama untuk mereka.

"Daging campur dua ya, Pak. Minumnya es teh aja. Yang satu tawar esnya yang banyak. Yang satu gulanya sedikit aja, es normal."

Setelah membayar, keduanya lalu bergerak mencari tempat duduk yang masih kosong. Dua buah kursi yang ada di dekat trotoar menjadi tujuan mereka. Vanka tanpa permisi lalu duduk di atas trotoar membuat Bumi mengerutkan dahi.

"Gak mau duduk di kursi aja?"

Gadis itu menggeleng pelan. "Kursinya jadi meja aja."

Bumi menelengkan kepala dengan bingung.

"Biar kamu gak perlu megangin mangkok panas lagi."

Ucapannya terdengar amat sederhana namun sukses membuat dada Bumi kembali bergejolak. Vanka mengingat kali pertama mereka makan bersama. Dan bagaimana bagian dirinya yang memegangi mangkok menjadi hal yang paling diingat oleh Vanka?

Bumi tersenyum salah tingkah namun dengan cepat ia berusaha menguasai diri. Mengambil tempat di sebelah Vanka dan duduk di trotoar yang sama. Menaruh mangkok dan gelas es teh di atas kursi seperti yang dilakukan gadis itu.

Keduanya lalu mulai makan. Pada suapan pertama, Bumi hampir tersedak karena tiba-tiba Vanka mencengkeram lengan atasnya. Bumi menoleh menatal Vanka yang kini tampak amat takjub. Mata gadis itu berbinar.

"Ini enak banget."ucapnya amat serius. Ekspresi yang pertama kali dilihat oleh Bumi. Terlihat sangat menggemaskan.

Tak tahan, Bumi mencapit kedua pipi gembul penuh makanan itu dengan tangan kanannya. Mendekatkan wajah untuk mengamati Vanka yang mengerutkan dahi dengan bingung.

"Seenak itu?"

Walaupun bibirnya mengerucut karena tangan Bumi yang ada pada wajahnya, Vanka kembali tersenyum. Mengangguk berkali-kali. Membuat Bumi akhirnya ikut tersenyum. Melepaskan tangan dari wajah Vanka lalu naik mengusap puncak kepalanya.

"Yaudah. Diabisin."

Keduanya lalu menikmati sop yang mereka pesan. Sesekali berbincang ketika Vanka mengomentari rasa makanan. Gadis itu tampak lebih lepas malam ini. Walaupun masih ada, namun kecanggungan itu tidak terasa menganggu.

Bumi juga. Malam ini ia lebih banyak mendengar. Hanya menjawab ketika Vanka bertanya. Karena malam ini gadis itu memiliki banyak sekali pertanyaan. Bahkan menanyakan kemana orang tua dari anak yang tiba-tiba menghampiri mereka dan menyanyikan lagu sumbang tanpa iringan musik.

Setelah kenyang dan puas dengan santapan mereka, Bumi lalu mengajak Vanka kembali berkendara. Seperti di awal, ia memasangkan helm lalu membiarkan Vanka naik terlebih dahulu.

Namun tidak seperti di awal, kali ini Vanka justru yang  mendekat pertama kali. Melingkarkan lengan di tubuh Bumi lalu menaruh dagu di bahunya. Terus tersenyum sepanjang jalan.

Ketika berhenti di sebuah lampu merah yang sama, tangan kiri Bumi bergerak turun. Mengusap lutut kirinya dengan lembut. Penuh perasaan.

Tubuh Vanka tidak merasakan apapun. Karena yang disentuh oleh Bumi adalah kaki palsunya dan laki-laki itu tahu. Tapi hati Vanka penuh. Bagaimana laki-laki itu memperlakukannya amat lembut dan perhatian karena kekurangannya namun tidak terlihat bahwa ia keberatan dengan hal tersebut.

Gerakan kecil dan tanpa kata membuat Vanka menjadi emosional. Ia memeluk tubuh Bumi semakin erat.

---

Love

--aku

Imperfect Princess [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang