7. Sakit Jiwa.

494 50 19
                                    

Kali Vard tidak bisa menyembunyikan murkanya, jawaban polos dari keponakannya itu sama sekali bukan yang diinginkannya. Dirinya dulu masih begitu belia ketika mengambil tanggung jawab membawa putra dari kakaknya ini, dan lihatlah sekarang dia bahkan telah berani membantahnya.

Apakah harusnya dibiarkan saja dia bertemu dengan malaikat pencabut nyawa berwujud Hagen Alston yang setengah gila itu? Tidak. Meski kerap melawan tapi Jules bukan anak yang kasar, dia pasti mengalah kalau bertemu dengan papanya dengan dalih mungkin saja yang diterimanya adalah pantas. Ya Tuhan pantas dari mana?

"Kamu memang lahir dari benih dia, tapi dia tidak bisa kamu sebut sebagai papa." Vard berusaha merendahkan suaranya, menekan marahnya selagi bisa sebelum kembali meracau.

"Bukankah, secara biologis itu berarti dia pantas disebut dengan papa?" tanya Jules seakan yang diketahuinya hanyalah itu.

Vard memejamkan matanya, dia juga tidak jauh kelakuannya dengan kakaknya yang begitu temperamental tapi di sini ada Jules yang menatapnya dengan polos, ada Mia yang melihatnya dengan cemas juga Tazia yang melongo seolah terkejut dengan kekasaran yang belum pernah ditunjukkannya di sini.

"Tidak," jawab Vard dengan tertekan. "Sudahi basa-basi ini, kamu ... ikut denganku, kita terbang malam ini juga, kembali. Dan aku gandakan penjagaanmu." Pria itu kembali merendahkan suaranya.

"Aku tidak akan pergi kemana pun, Paman. Aku di sini, di Indonesia bersamamu," jawab Jules yang dengan tenang menuruni bed kecil itu, sesekali mengerang atas luka yang masih basah di pinggangnya.

Vard pura-pura tidak mendengar erangan kecil itu, cemas menggunung itu ditutupinya dengan tegas. Jules sekarang tumbuh menjadi remaja yang sudah mulai menyuarakan keinginannya. Padahal selama ini dia selalu menjadi anak yang manis dan penurut. Dikiranya, 2 orang bodyguard itu cukup tapi rupanya keponakannya itu cukup cerdik.

"Kalau aku tidak mau?" tanya Vard menyungging senyum, sinis. "Kita kembali malam ini."

"Kalau begitu, aku tidak tinggal bersamamu, aku bisa kemanapun." Jules mengambil benda yang berada di tangan pamannya itu, sebuah mcLaren series hadiah ulang tahunnya. "Itu, milikku."

"Ya Tuhan, Jules jangan menguji kesabaranku. Kali ini aku tidak punya. Apa yang kamu harapkan di sini? Tidak ada. Sampai kapan pun jangan pernah kunjungi orang gila itu, kamu mengerti?" Vard bicara dengan tegas.

"Aku pergi ke sana, tapi hanya bertemu dengan Emmery," balas Jules malah jujur.

Mata Vard terbelalak tidak percaya. Dengan lantang dia berteriak seperti orang gila dan menarik tubuh keponakannya itu. Jules beruntung tidak bertemu dengan Hagen, Emmery tentu lebih baik karena dia tidak akan berani meletakkan tangannya pada tubuh remaja ini, tapi berbeda dengan Hagen.

"Apa aku harus memukulmu terlebih dahulu agar kamu mau mendengarkan aku?" Vard bicara dengan terengah. "Ketika kamu dinyatakan hilang, aku menemui Hagen, kamu tahu apa yang dia katakan? Kamu tahu?" tanyanya dengan suara menggelegar.

"Papa, bicara apa?" tanya Jules dengan penasaran.

"Dia berkata kalau kamu telah berada di sana, aku pasti tahu karena jejak itu pasti ada. Entah kamu yang terkapar sekarat sekali lagi atau teronggok mati ... sudahlah kita pulang!" Vard meraih tangan keponakannya dengan kasar.

"Pulang kemana? Rumah ku di sini," tolak Jules berontak.

Pamannya hanya bicara begitu terus. Tidakkah pernah bertanya bagaimana rasanya rindu yang memenuhi dadanya sejak belasan tahun lamanya. Dirinya bahkan selalu dikatakan yatim piatu dan Vard adalah walinya, tidak ada nama Hagen di seluruh kehidupannya meski beberapa orang menanyakannya.

Topeng Sang Pewaris.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang