16. Luka Yang Tidak Akan Sembuh.

334 41 10
                                    

Pria muda itu berdiri tegak di dalam sebuah ruangan yang terbilang cukup besar, di hadapannya tampak tergolek pemuda yang masih juga dengan mata terpejam. Entah berapa lama Vard berada di dalam posisi itu dengan raut wajah yang datar, pakaiannya masih berhias merah di beberapa bagian. Penampilannya juga sama tidak bagusnya, kejadian yang tadi itu membuatnya benar-benar terguncang.

Yang terjadi itu sebenarnya sudah bisa diperkirakan, sekuat tenaga dirinya berusaha menjauhkan keponakannya itu dari iblis berwujud manusia itu. Kadang dirinya berpikir, tidakkah tersisa sedikit pada hati Hagen atas cinta kepada darah dagingnya itu? Bagaimana bisa kasihnya yang luar biasa itu menjadi benci yang membabi buta.

"Tidurlah selama yang kamu mau, bangunlah ketika kamu sudah siap, Jules," bisik Vard yang kini mendekati keponakannya itu. "Dunia ini, kadang memang begini kejam. Aku pun tak tahu kenapa."

Rambut itu disibaknya perlahan, wajah memar itu tampak begitu jelas sekarang.  Yang di hadapannya ini hanyalah keponakannya tapi dirinya menyaksikan Jules tumbuh hingga sebesar ini. Sekuatnya dibesarkannya dengan baik, dipenuhinya seluruh kebutuhan fisik juga batinnya. Jules tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan manis, tapi kepolosannya itu terkadang malah membahayakan.

Dunia ini keras, ancaman itu kerap tidak hanya datang dari luar tapi dari lingkaran yang dekat. Pemuda itu masih tergolek berbalut piyama dan separuh tubuh tertutup selimut, sebuah monitor yang menunjukkan parameter vital itu berbunyi dengan konstan. Sebuah cairan yang tergantung di atas itu menetes dengan cepat, entah apa yang diberikan kepada keponakannya ini. Yang pasti waktu itu di sepanjang jalan Vard menelpon Kimmy dengan panik seperti orang gila dengan Jules berada di dalam peluknya.

"Kamu juga, perlu istirahat, Vard," sebuah suara memecahkan gundah.

"Bagaimana bisa, Kim?" tanya pria itu tanpa menoleh, tangannya masih memegang tangan pucat yang mana di punggungnya menempel sebuah plester fiksasi dan sebuah benda tampak menyembul di sana.

"Aku yang akan menjaganya," tawar wanita yang dipanggil Kim itu.

"Aku, tidak bisa meninggalkannya," gumam Vard terlihat masih cemas.

Suara detak sepasang sepatu itu terdengar perlahan dan mendekat. Kimmy mengelus wajah pucat yang masih terpejam itu. "Kamu, tidak percaya denganku?" tanyanya.

"Bukan begitu, bagaimana nanti kalau dia bangun? Dia membutuhkan sesuatu?" tanya Vard kembali dengan kepanikannya.

"Dia tidak akan bangun, setidaknya hari ini. Itu lebih baik, tubuhnya masih bekerja keras memulihkan diri. Yah ... Kamu pasti tahu, penganiayaan ini bukan kasus ringan." Wanita itu menyentuh pundaknya lembut.

"Bagaimana kamu bisa memastikannya?" tanya Vard dengan mengerutkan kening.

"Mereka bekerja bukan berbekal dengan satu atau dua artikel. Pikirmu aku bisa punya rumah sakit sebesar ini, tanpa banyak belajar juga mengerti banyak kasus? Kamu tidak perlu kuatir, staffku akan mengurusnya dengan baik," gumam Kimmy lembut terdengar.

Desah napas itu terdengar begitu putus asa, kecolongan sebentar saja dan bocah ini sudah kabur dengan begitu licinnya. Jules bukan bayi lagi yang gerakannya terbatas, dia punya tubuh dengan organ yang lengkap, mudah sekali dia bertingkah seperti itu. Pikirnya bersama Mia keponakannya akan sedikit lebih sungkan dan bodyguard beserta yang lain tidak perlu lagi dipekerjakan, tapi rupanya salah, sangat salah.

"Vard, kalau kamu ikut sakit. Apakah kamu mau keponakanmu bangun hanya untuk melihat pamannya juga terkapar?" Kimmy menyilangkan kedua tangannya.

"Baiklah, aku akan pergi dulu. Bisa kau berjanji untuk menjaganya untukku?" tanya Vard dengan penuh harap.

"Tentu saja, kita ini teman, bukan?" Kimmy tersenyum dan mendekat ke arah ranjang. Dibelainya sebentar kening yang mana tampak beberapa bekas goresan.

Vard berpamitan, entah kalimat apa yang dibisikkannya kepada keponakannya itu sebelum pergi. Kimmy hanya menatap dan mengantarnya dengan senyum. Kehidupan manusia memang demikian rumit, beberapa terlihat baik saja tapi di dalam akar itu menjalar menusuk kemana saja.

Dipandanginya wajah polos pemuda yang baru belasan tahun itu, dia begitu keras kepala. Kimmy mengenal baik pelaku penganiayaan ini, dia teman baik keluarga juga pasiennya. Sayang sekali, jalur hukum sepertinya tidak akan pernah ditempuh. Hagen masih tertimbun di dalam traumanya dan mentalnya itu masih belum pulih meski sudah belasan tahun lamanya. Sebaik apapun psikiater yang diberikan, tidak akan mudah kalau Hagen memilih memeluk deritanya sendirian.

"Sembuhlah dengan cepat, dan tinggalkan negara ini sayangku. Memang ini tanah kelahiranmu, tapi tempatmu bukan di sini," bisiknya perlahan pada sosok yang hanya diam dan bernapas itu.

Tentu saja, di sini bukan tempatnya. Seharusnya Jules dari awal tahu itu.

***

"Bagaimana dia?" tanya Mia dengan rasa bersalah.

"Kata Kimmy, dia tidak akan bangun hari ini. Entah apa yang sudah diberikan kepadanya tapi sepertinya itu lebih baik." Vard melepas peluknya pada wanita yang dicintainya itu. "Mana Tazia?" tanyanya.

"Dia baru saja tidur, sejak tadi hanya menangis dan berkata kalau itu adalah salahnya hingga Jules luput dari pengawasannya," ujar Mia yang ikut duduk di sebelah Vard.

"Bukan salah Tazia," gumam Vard dengan lemah.

"Sebagian itu adalah salahku, aku sedikit terlambat. Waktu mau oper jaga rupanya shift selanjutnya sedikit terlambat, aku minta maaf," ucap Mia dengan wajah begitu muram.

"Bukan salah siapa-siapa Mia, tidak perlu merebutkan siapa yang salah." Vard menjawab semua dengan pelan.

Tidak perlu merebutkan siapa yang salah, semuanya memiliki porsi masing-masing. Tazia memang lalai tapi menjaga Jules bukanlah tugasnya. Mia memang kerap terlambat tapi semua itu bukan kehendaknya. Dirinya yang sedikit abai atas keponakannya, tentu tanggung jawab ini berada di pundaknya. Sedangkan papanya yang tengah rusak secara mental dan fisik itu juga bersalah, Vard mengurut kepalanya yang semakin sakit.

"Lalu, bagaimana? Setelah ini tentu aku tidak berani lagi menampungnya di rumahku. Aku tidak bisa mengawasinya setiap saat." Mia menggeleng, dikiranya memelihara Jules sama mudahnya seperti Tazia.

"Ya, Jules tidak akan kembali ke rumah ini. Sementara ini sopir dan pengasuhnya akan aku datangkan lagi kemari juga beberapa bodyguard. Dia akan tinggal di kediamanku dengan pengawasan ketat." Vard berpikir sepertinya memang jangan memberi ruang kepada Jules untuk bertingkah.

"Dia akan tetap di negara ini?" tanya Mia terheran, keningnya mengkerut beberapa lama.

Vard menggeleng dengan cepat. "Aku akan membuatnya dideportasi sesegera mungkin."

"Dia, warga negara asing?" tanya Mia yang agak terkejut.

Senyum yang hanya segaris itu nampak bersamaan dengan anggukan kepalanya. "Waktu aku membawanya, segera aku mengurus kewarganegaraannya. Dia bukan warga negara Indonesia."

"Astaga," gumam Mia pelan hampir tidak terdengar.

"Hagen, sama sekali tidak berubah meski sudah belasan tahun lamanya. Dulu juga pernah tapi tidak separah ini. Aku bisa apa Mia? Jules keponakanku sedangkan Hagen adalah kakakku?" tanya pria itu dengan lemah, wajahnya terlihat kuyu dan lelah.

Memang tidak mudah, yang dilalui oleh Vard sangat tidak mudah harus berada di tengah-tengah situasi yang seperti ini hingga belasan tahun lamanya. Selama ini dirinya hanya mendengarkan episode dari cerita demi cerita, kini matanya telah melihat langsung dan dirinya juga ikut terlibat, Mia merasa begitu rumit.

"Vard, yang kamu lakukan itu sudah benar. Kamu adik dan paman yang terbaik. Kamu ... yang terbaik," puji Mia meraih kekasihnya itu.

Memang, dia yang terbaik. Situasinya saja yang buruk. Titik terang belum terlihat, entah apa jadinya nanti. Tunggu saja hingga Jules sadar dan membuka mata,

sisanya pikirkan saja nanti.

***
--------------------
CC. alfreyISP

Jan suruh bikin yang lebih sadis, kaga cocok dengan jiwa gw yang lemah lembut.
--------------------

Topeng Sang Pewaris.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang